Jakarta (ANTARA) - Utusan Khusus Perubahan Iklim China Liu Zhenmin menegaskan pentingnya netralitas karbon global untuk kesejahteraan dan lingkungan hidup manusia saat berbicara dalam acara Indonesia Net-Zero Summit (INZS) 2024 “S.O.S Neraka Bocor: Climate Avengers Assemble!” di Jakarta, Sabtu.  

“Mencapai netralitas karbon global tidak hanya penting untuk kesejahteraan generasi sekarang, tetapi juga untuk lingkungan hidup generasi masa depan kita,” katanya dalam acara yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) itu.

Saat ini, banyak negara Asia berada pada tahap kritis transisi energi dan menghadapi berbagai tantangan seperti peningkatan konsumsi energi, kenaikan harga, rendahnya pangsa kapasitas energi terbarukan, dan rantai pasokan yang tidak stabil, katanya.

Dia memberikan tiga saran singkat untuk mencapai keseimbangan antara ketahanan energi dan transisi energi, yang merupakan tantangan yang dihadapi oleh negara-negara Asia, terutama negara berkembang.

Pertama, Liu melanjutkan, adalah menjunjung tinggi multilateralisme.

“Perubahan iklim merupakan isu global yang memerlukan kerja sama terpadu antarnegara di seluruh dunia,” ujar Liu.

Semua negara harus mematuhi Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Perjanjian Paris (Paris Agreement) sebagai kerangka hukum kerja sama internasional untuk mengatasi perubahan iklim, katanya.

Yang kedua adalah mendorong transisi energi secara merata, tertib dan adil, lanjut Utusan Khusus Perubahan Iklim China tersebut.

“Adil, tertib, setara dan kerja sama adalah kata kunci untuk transisi energi global,” kata Liu.

Menurut dia, transisi energi harus memastikan keamanan energi dan harus mencerminkan fleksibilitas, kemampuan ilmiah dan inklusivitas.

Transisi yang adil dan setara memerlukan pembangunan yang sesuai dengan kondisi nasional, tahap pembangunan, kemampuan, dan sumber daya yang dimiliki masing-masing negara.

“Pihak negara maju harus memberikan dukungan kepada negara berkembang untuk membantunya mencapai posisi yang adil,” ujar Liu.

Ketiga adalah mengatasi hambatan melalui kerja sama teknologi dan mengisi kesenjangan dalam tata kelola iklim global.

“Membangun kembali kepercayaan antara negara-negara di belahan bumi utara dan selatan memerlukan kerja sama internasional yang sejati,” tutur Liu.

Liu menjelaskan bahwa saat ini proteksionisme dan langkah-langkah unilateral dari beberapa negara menimbulkan hambatan signifikan bagi transisi rendah karbon global.

“Masyarakat internasional harus menolak unilateralisme dan pemikiran zero sum (kalah-menang-red.) yang berkontribusi pada tata kelola iklim global melalui persaingan dan kerja sama yang menguntungkan,” kata Liu.

Baca juga: Indonesia berpotensi jadi pusat energi berkelanjutan di kancah global
Baca juga: Menteri ESDM: Kerja sama dengan Inggris perkuat transisi energi RI


 

Pewarta: Cindy Frishanti Octavia
Editor: Rahmad Nasution
Copyright © ANTARA 2024