makin tinggi tingkat pendidikan yang diminta, maka makin tinggi pula kesenjangan dengan ketersediaan tenaga kerjanya
Jakarta (ANTARA) - Riset Populis dan KitaLulus menyebutkan sebanyak 46 persen perusahaan kesulitan mencari calon karyawan disebabkan oleh kesenjangan dalam beberapa kriteria yang dibutuhkan pemberi kerja dengan tenaga kerja yang tersedia.

Padahal data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah pengangguran di Indonesia per Februari 2024 mencapai 7,2 juta orang.

"Hasil analisis terhadap 1 juta data pelamar kerja dan permintaan tenaga kerja di job portal KitaLulus menyebutkan makin tinggi tingkat pendidikan yang diminta, maka makin tinggi pula kesenjangan dengan ketersediaan tenaga kerjanya," kata Head of Social Research Populix Vivi Zabkie dalam keterangan di Jakarta, Sabtu.

Riset Populix dan KitaLulus menunjukkan pencari kerja di Indonesia belum memiliki pengalaman, keterampilan dan tingkat pendidikan yang cukup bagi pemberi kerja.

Keterampilan yang dimaksud mencakup keterampilan teknis dan non teknis dan sebanyak 50 persen perusahaan menyebut keterampilan teknis pelamar masih pemula/rendah, sedang sebanyak 35 persen perusahaan menyebut keterampilan lunak (soft skill) pelamar belum cukup baik.

Sementara tingkat pendidikan yang dibutuhkan oleh perusahaan juga timpang dengan tenaga yang tersedia.

Baca juga: Kepala BRIN kemukakan urgensi riset bioteknologi untuk Indonesia

Menurut Vivi, pada sisi lain, pencari kerja melalui survei Populix mengeluhkan sulitnya mencari kerja. Saat diminta menilai tingkat kesulitan dalam mencari kerja, rata-rata memberi skor 5,02 (pada rentang 1-10) atau terhitung cukup sulit.

Tantangan yang dihadapi pekerja adalah kebutuhan akan pengalaman yang tinggi (63 persen), tingkat pendidikan yang tinggi (58 persen), dan adanya batasan usia (53 persen) dianggap sebagai hambatan.

“Masih dari data job portal yang kami analisis, jika dilihat lebih dalam terkait dengan pendidikan, terjadi mismatch antara jumlah pencari kerja dengan jumlah lowongan yang tersedia,” katanya.

Ketersediaan jumlah lowongan untuk tingkat SMP (13 persen), S1 (16 persen) dan S2 (19 persen) masih sedikit dibandingkan dengan jumlah pencari kerjanya.

Di samping itu, secara rasio jumlah pencari kerja, pencari kerja lulusan IPS dan IPA cukup banyak, namun rasio lowongan kerja yang tersedia sedikit.

Co-Founder KitaLulus Stevien Jimmy mengatakan secara umum temuan survei Populix dan big data KitaLulus sejalan, kualifikasi yang sering menjadi ketidakcocokan antara yang dimiliki dan diminta dalam lowongan kerja adalah jumlah pengalaman kerja, keterampilan teknis dan tingkat pendidikan.

“Oleh karena itu, KitaLulus berusaha membantu para pencari kerja dengan menyediakan fitur AI yang membantu menilai dan merekomendasikan kandidat terbaik terhadap kebutuhan loker pemberi kerja,” ujar Jimmy.

Jika dilihat lebih dalam, responden pencari kerja yang saat ini belum memiliki pekerjaan lebih banyak yang merasa insecure karena lebih banyak mengungkapkan kesulitannya, seperti pengalaman yang dibutuhkan terlalu tinggi (68 persen), tingkat pendidikan yang dibutuhkan terlalu tinggi (59 persen), serta khawatir akan banyaknya saingan (53 persen).

Meski begitu secara umum, pencari kerja tetap coba melamar walaupun kualifikasi syarat yang tertera pada lowongan lebih tinggi.

Syarat yang lebih banyak coba tetap dilamar adalah soft skill, pengalaman, dan keterampilan teknis. Sedangkan batasan usia, tingkat pendidikan, dan keterampilan bahasa tetap coba dilamar, tetapi tidak sebanyak yang lain.

Riset Populix dan KitaLulus mengenai ketimpangan antara lowongan dan tenaga kerja disusun berdasarkan 3 data survei, yaitu survei kepada 1330 pencari kerja, survei terhadap 530 pencari kerja, dan survei kepada 100 perusahaan serta analisis terhadap 1 juta data dari job portal KitaLulus. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juni 2024.

Baca juga: Kemnaker gelar Naker Fest 2024 fasilitasi 110 ribu lowongan kerja

Baca juga: Tangerang Digital Fest buka 10.237 lowongan kerja

Pewarta: Ahmad Wijaya
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2024