Semarang (ANTARA) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI perlu mencermati pertimbangan hukum pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XXII/2024 sebelum merevisi PKPU Pencalonan Kepala Daerah agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

Jangan sampai mengabaikan pertimbangan hukum putusan MK. Pasalnya, tidak hanya KPU selaku penyelenggara pemilu yang terancam kena sanksi pelanggaran etik, tetapi juga calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah berpotensi dinyatakan tidak sah oleh MK.

Seyogianya KPU belajar dari pengalaman agar tidak mengulangi hal serupa. Gegara tidak mengubah usia minimum calon presiden dan calon wakil presiden pada Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 sesuai dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI pada tanggal 5 Februari 2024 menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU (kala itu) Hasyim Asy'ari.

Begitu pula pihak-pihak tertentu, terutama pemangku kepentingan kepemiluan yang terlibat dalam pembahasan draf PKPU, sekali lagi jangan sampai mengabaikan pertimbangan hukum dalam putusan MK.

Keteladanan pernah ditunjukkan oleh Pemerintah dan DPR RI ketika bermaksud memajukan waktu penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 dari November menjadi September 2024.

Kendati Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 12/PUU-XXII/2024 menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya, pembentuk undang-undang tidak melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang (RUU Pilkada).

Dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 12/PUU-XXII/2024, mahkamah menegaskan ihwal jadwal yang telah ditetapkan dalam Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada yang menyatakan, "Pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024."

Oleh karena itu, pilkada harus dilakukan sesuai dengan jadwal dimaksud secara konsisten untuk menghindari adanya tumpang tindih tahapan-tahapan krusial Pilkada Serentak 2024 dengan tahapan Pemilu 2024 yang belum selesai.

Artinya, mengubah jadwal dimaksud akan dapat mengganggu dan mengancam konstitusionalitas penyelenggaraan pilkada serentak. Demikian salah satu pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 12/PUU-XXII/2024.

Begitu pula dalam Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024. Meski mahkamah menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya, seyogianya pemangku kepentingan pemilu perlu memperhatikan pertimbangan hukum putusan tersebut.

Salah satu pertimbangan putusan MK menyebutkan bahwa secara tekstual, norma Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 adalah benar tidak mencantumkan secara eksplisit ihwal frasa "terhitung sejak penetapan pasangan calon".

Namun, semua pengaturan yang terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum, baik pemilihan calon anggota DPR/DPD/DPRD maupun pemilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak mencantumkan frasa dimaksud.

Sekalipun tidak mencantumkan secara eksplisit, secara historis, sistematis, praktik selama ini, dan perbandingan dengan pemilihan lain, penentuan batas usia minimum menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah selalu dihitung atau menggunakan titik atau batas sejak penetapan calon.

Penentuan titik atau batas demikian telah menjadi semacam postulat (asumsi yang menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu membuktikannya) dalam penyelenggaraan pemilihan sehingga tidak bisa dibuatkan pengecualian dalam kontestasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Artinya, jika pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dikecualikan, yaitu penentuan titik atau batas usia minimum bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dibenarkan pada tahapan setelah penetapan calon, sama saja mahkamah membenarkan anomali dalam hukum pemilihan umum.

Apabila diletakkan dalam harmonisasi dan sinkronisasi hukum pemilihan umum, peluang atau kemungkinan adanya anomali dalam pemilihan kepala daerah harus dicegah karena tidak terdapat lagi perbedaan rezim dalam pemilihan, yaitu perbedaan antara rezim pemerintahan daerah dan rezim pemilihan umum.

Dalam pertimbangan hukum putusan ini ditegaskan pula bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No. 10 Tahun 2016 merupakan norma yang sudah jelas, terang-benderang, bak basuluh matohari, cetho welo-welo sehingga terhadapnya tidak dapat dan tidak perlu diberikan atau ditambahkan makna lain atau berbeda selain dari yang dipertimbangkan dalam putusan a quo, yaitu persyaratan dimaksud harus dipenuhi pada pencalonan yang bermuara pada penetapan calon.

Sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024 menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Keempat atas PKPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu UU No. 10 Tahun 2016.

Dinyatakan pula bahwa PKPU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur/wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati/wakil bupati atau calon wali kota/wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih".

Setelah ada putusan MA tersebut, KPU kembali merevisi PKPU Pencalonan Kepala Daerah dengan mengadopsi putusan MA. Lahirlah PKPU Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Namun, sebelum diterapkan pada masa pendaftaran pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota, 27—29 Agustus 2024, publik dikejutkan dengan dua putusan MK: Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024.

Selang sehari, Rabu (21/8), Badan Legislasi DPR RI dan Pemerintah menyetujui untuk melanjutkan pembahasan RUU Pilkada pada Rapat Paripurna DPR RI. Namun, tidak jadi dibahas pada hari itu karena jumlah peserta rapat tidak mencapai kuorum atau kurang dari 1/2 jumlah anggota rapat. Rapat paripurna yang akan menyetujui pengesahan RUU Perubahan Keempat atas UU Pilkada pun batal.

KPU RI dalam revisi PKPU Pencalonan Kepala Daerah tampaknya akan mengacu pada putusan MK. Pemangku kepentingan kepemiluan, khususnya terkait dengan pembahasan PKPU, perlu menerapkan asas lex posterior derogat legi priori (peraturan yang baru mengesampingkan peraturan lama).

Oleh karena itu, dalam pembahasan revisi PKPU Pencalonan Kepala Daerah dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI, KPU bersama anggota dewan, Kementerian Dalam Negeri, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) jangan sampai mengabaikan putusan MK.

*) D.Dj. Kliwantoro, Ketua Dewan Etik Mappilu PWI Provinsi Jawa Tengah.

 

Copyright © ANTARA 2024