Kota Bengkulu (ANTARA) - Provinsi Bengkulu sebagai salah satu daerah penghasil batu bara perlu mulai mempertimbangkan diversifikasi ekonomi melalui pengembangan komoditas lain yang lebih berkelanjutan seiring fluktuasi harga coal  yang cenderung menurun dalam beberapa waktu terakhir.

Bengkulu memiliki sejumlah potensi ekonomi hijau seperti kelapa dan kelapa sawit sebagai alternatif batu bara yang menjadi andalan ekspor provinsi berjuluk Bumi Rafflesia ini.

Soal potensi energi dan ekonomi berkelanjutan, Presiden Joko Widodo menyoroti pentingnya pengembangan ekonomi hijau, seperti eksplorasi lebih lanjut terhadap potensi kelapa di Indonesia.

Kelapa memiliki potensi yang signifikan dengan luas lahan mencapai 3,8 juta hektare dengan produksi 2,8 juta ton per tahun.

“Ke depan, ekonomi hijau merupakan peluang, merupakan potensi yang sangat besar bagi negara kita Indonesia, baik itu yang berkaitan dengan cokelat, bakau, vanili, kopi, lada, cengkeh dan yang lain-lainnya. Dan yang terutama yang memiliki potensi besar adalah kelapa,” kata Jokowi dalam Konferensi dan Pameran Kelapa Internasional (Cocotech) Ke-51 di Surabaya, Juli lalu.

Indonesia berhasil mengekspor kelapa dengan nilai mencapai 1,55 miliar dolar AS, angka yang sangat besar dan masih bisa ditingkatkan melalui hilirisasi komoditas kelapa.

Hilirisasi tersebut mencakup pengolahan kelapa menjadi produk bernilai tambah seperti bioenergi, bioethanol, dan bioavtur, yang tidak hanya meningkatkan nilai ekonomis kelapa, tetapi juga mendukung ekonomi hijau berkelanjutan.

Selain itu, hilirisasi juga dapat disertai dengan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan produk bernilai tinggi seperti briket, cocopeat, dan cocofiber atau biasa disingkat bricofi.

Bricofi memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai bagian dari siklus ekonomi hijau berkelanjutan.

Adapun briket terbuat dari tempurung kelapa yang dikarbonisasi dan diolah menjadi bahan bakar alternatif. Cocopeat dibuat dari serbuk kelapa yang dapat digunakan sebagai media tanam yang ramah lingkungan.

Sementara itu, cocofiber adalah serabut kelapa yang diolah menjadi bahan baku untuk berbagai produk, seperti matras dan tekstil.

Hal tersebut menggambarkan bahwa komoditas kelapa sejatinya memiliki potensi besar jika dikelola dengan baik, terutama oleh sejumlah pelaku usaha di berbagai tempat di Indonesia.


Harga batu bara merosot

Laporan Bank Dunia menunjukkan adanya risiko penurunan harga batu bara akibat pasokan yang melimpah di pasar global dan pertumbuhan ekonomi dunia yang lebih lambat dari perkiraan. Bank Dunia memproyeksikan tren koreksi harga batu bara akan terus berlanjut hingga 2025.

Harga batu bara diproyeksikan akan menurun sekitar 28 persen pada 2024 dan 12 persen pada 2025.

Kondisi ini diperkirakan akan terus menekan harga batu bara dalam beberapa tahun ke depan. Pada saat yang sama, permintaan batu bara dari China, konsumen terbesar batu bara di dunia, mencapai puncaknya pada tahun 2023, namun setelah itu tren permintaan relatif turun.

Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia menetapkan Harga Batu Bara Acuan (HBA) untuk Juli 2024 sebesar USD130,44 per ton.

Hal itu menunjukkan penurunan yang signifikan dibandingkan HBA pada Juli 2023 yang mencapai USD191,60 per ton, turun sekitar 31,9 persen secara tahunan (year on year/ yoy).

Penurunan tersebut menggarisbawahi perlunya diversifikasi ekonomi di daerah penghasil batu bara seperti Bengkulu, salah satunya hasil alam yang diarahkan pada bioenergi dan produk turunan lainnya dari kelapa dan kelapa sawit yang melimpah.

Tentu keberlanjutan ekonomi berbeda dengan batu bara yang pada waktunya akan habis karena tidak bisa diperbaharui. Berbeda dengan komoditas kelapa serta kelapa sawit yang berkelanjutan.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bengkulu, luas area tanam kelapa sawit mencapai 319.696 hektare dengan produksi 1.053.614 ton per tahun, sementara luas area tanam kelapa tercatat 8.815 hektare dengan produksi 7.574 ton per tahun.

Sebagian besar ekspor pada semester I tahun 2024 Provinsi Bengkulu adalah dari batu bara yang hampir di setiap bulan di atas 90 persen, kecuali Mei.

Adapun data tersebut yaitu Januari 2024 senilai 94,10 persen dari total ekspor Bengkulu adalah produk batu bara atau sebesar 11,90 juta dolar AS.

Kemudian di tahun sama pada Februari adalah 21,98 juta dolar AS (94,62 persen), Maret 21,56 juta dolar AS (94,20 persen), April 14,31 juta dolar AS (91,87 persen), Mei 7,69 juta dolar AS (82,56 persen), Juni 9,36 juta dolar AS (93,95 persen).

Nilai ekspor batu bara Bengkulu memang sangat mendominasi, tapi memang harus didorong untuk produk energi lain sebagai nilai tambah pendapatan terutama dari ekonomi hijau.

Seiring dengan penurunan harga batu bara, Bengkulu perlu mendorong pengembangan komoditas lain seperti kelapa dan tentu saja kelapa sawit.

Bengkulu juga dapat mencontoh program Bricofi yang diinisiasi oleh mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam proyeknya di Jawa Tengah. Limbah kelapa ini dimanfaatkan menjadi produk bernilai ekonomi tinggi.

Langkah-langkah serupa dapat diterapkan di Bengkulu untuk mengembangkan ekonomi hijau daerah ini.

Dalam hal pengembangan kelapa sawit, Pemerintah dan masyarakat Bengkulu dapat mengoptimalkan produksi biodiesel dan bioethanol sebagai sumber energi terbarukan yang berkelanjutan.

Pemerintah telah mulai mengimplementasikan bahan bakar biodiesel B35 dan sedang menguji coba biodiesel B40, sebagai bagian dari upaya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.


Sumber bioenergi melimpah

Pakar bioenergi Tatang Hernas Soerawidjaja  menyatakan Indonesia memiliki potensi besar untuk memanfaatkan sumber energi nabati sebagai bahan bakar alternatif. Namun, rendahnya inovasi di industri lokal menjadi tantangan yang perlu diatasi.

Transisi energi berbasis bioekonomi dinilai sangat penting untuk mendukung Tujuan-tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Potensi ini harus dioptimalkan, terutama dengan memanfaatkan tumbuhan di Indonesia yang kaya akan minyak dan lemak, yang tidak dimiliki oleh negara-negara beriklim empat musim.

"Inovasi lokal perlu ditingkatkan agar Indonesia dapat memanfaatkan sumber daya alamnya secara mandiri dan berkelanjutan," ujar Tatang.

Potensi batang sawit tua, yang merupakan limbah perkebunan sawit, juga bisa diolah,  khususnya setelah peremajaan. Batang sawit tua masih mengandung nira (air gula) sekitar 70 persen dan pati 30 persen (pati dan lignoselulosa), yang potensinya tidak kalah dari tebu.

Potensi bioetanol dari peremajaan kebun sawit mencapai 8,7-10,3 kiloliter per hektare. "Dari 8,7 kiloliter dengan 640 ribu hektare per tahun, kita bisa menghasilkan 5,6 juta kiloliter bioetanol. Jika 50 persen dari potensi ini bisa direalisasikan, maka akan mencapai 2,8 juta kiloliter," katanya.

Angka tersebut setara dengan 70 pabrik bioetanol yang harus dibangun dan lebih dari cukup untuk mendukung program E5 pada seluruh bensin di Indonesia hingga 2030.

Program E5 adalah inisiatif Pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan penggunaan bahan bakar terbarukan dengan mencampurkan 5 persen bioetanol ke dalam bensin.


Perlu komitmen

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) menekankan pentingnya hilirisasi produk kelapa untuk menambah nilai ekonomi. Setiap bagian dari pohon kelapa memiliki potensi untuk diolah menjadi produk yang bernilai, termasuk bioenergi dan bioavtur.

Setiap bagian pohon kelapa dapat digunakan untuk menghasilkan produk yang bernilai.

Pelaku usaha diharapkan tidak lagi mengekspor kelapa mentah saja, tapi juga produk-produk turunannya yang juga memiliki nilai ekonomi.

Indonesia harus berhenti mengekspor kelapa mentah saja karena setiap bagian pohon kelapa dapat digunakan untuk menghasilkan produk yang bernilai.

Kelapa dapat diolah menjadi berbagai produk bernilai, seperti minyak kelapa, santan, kelapa parut, dan air kelapa. Saat ini, Indonesia telah mulai mengekspor produk-produk seperti nata de coco, briket arang, dan tempurung kelapa, yang semakin diminati karena berkualitas tinggi.

Sebagai produsen kelapa terbesar kedua di dunia, Indonesia harus memanfaatkan potensi ini dengan baik. Indonesia adalah produsen kelapa terbesar kedua di dunia dan juga merupakan salah satu eksportir utama produk-produk kelapa beserta turunannya.

Bioenergi adalah salah satu bentuk energi terbarukan yang berasal dari sumber biologis, seperti kelapa dan kelapa sawit.

Bioenergi lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar fosil dan dapat diperbarui, menjadikannya solusi energi yang berkelanjutan.

Dengan tren penurunan harga batu bara dan potensi besar yang dimiliki oleh komoditas seperti kelapa dan kelapa sawit, Bengkulu memiliki peluang besar untuk memperkuat ekonominya melalui diversifikasi.

Pemanfaatan bioenergi sebagai bagian dari strategi hilirisasi komoditas ini tidak hanya akan mendukung ekonomi lokal, tetapi juga membantu Indonesia dalam mencapai target energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Editor: Achmad Zaenal M

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024