Jakarta (ANTARA News) - Bagi umat Katolik di Larantuka, Nusa Tenggara Timur, perayaan Paskah bukan hanya peringatan Hari Kebangkitan Isa Al Masih.
Di ibu kota Kabupaten Flores Timur itu, perayaan Paskah yang tahun ini jatuh pada 18 April merupakan hajatan besar yang memadukan ritual ibadah dan adat, sebuah perayaan budaya.
Bukan hanya jemaat dari desa-desa di Larantuka yang menikmati perayaan itu. Peziarah dari penjuru nusantara yang lain dan turis mancanegara pun datang untuk menyaksikan kemeriahan ritual Paskah di sana.
Demi memeriahkan perayaan itu, Larantuka sudah mulai bersolek sejak lima pekan menjelang Paskah. Hampir semua warganya terlibat dalam bagian dari ritual menjelang Paskah tersebut.
Pada Rabu (3/4) sore, para mama sibuk membersihkan pelataran Kapela Tuan Ana, beberapa lagi membersihkan bagian dalam.
Di samping kapela, bapak-bapak tekun membersihkan tempat lilin, sebagian lagi mengecatnya hingga tampak seperti baru.
Gereja Katedral Renha Rosari pun berdandan, beberapa sudutnya direnovasi.
"Persiapan sudah dimulai sejak lima minggu sebelum Paskah setiap hari Rabu," kata Alex Nuhan (71), perpetu (Bahasa Portugis yang artinya penjaga kapela) di Kapela Tuan Ana.
"Tidak hanya umat Katolik, tetapi semua (pemeluk) agama di sini terlibat," tambah pria yang sudah tujuh tahun menjadi perpetu di Kapela Tuan Ana itu.
Kapela Tuan Ana merupakan salah satu tempat yang penting dalam prosesi ritual Paskah di Larantuka.
Di sini lah, menurut Alex, patung Tuan Ana (Yesus) yang dianggap sakral diletakkan di dalam keranda di ruang klausur tertutup.
Patung Tuan Ana hanya "keluar" dari persemayaman saat Paskah, setelah "dijemput" oleh Tuan Ma (Bunda Maria) yang bersemayam di Kapela Tuan Ma, tak jauh dari Kapela Tuan Ana.
Patung Tuan Ana dan Tuan Ma nantinya akan diarak menuju Gereja Katedral Renha Rosari Larantuka saat Jumat Agung, prosesi yang disebut masyarakat Larantuka sebagai Semana Santa.
Kepercayaan dan ritual
Ketua Konfreria Yohanes Fernandes Aikoli mengatakan sejak Rabu Abu hingga Rabu Trewa, jemaat menggelar misa yang disebut Mengaji Semana.
Di Kapela Tuan Ma, yang masih menggunakan Bahasa Portugis untuk berdoa, meja-meja kecil untuk mengaji dan meletakan lilin sudah tersusun rapi.
Di tempat Patung Tuan Ma disemayamkan itu, mardomu melantunkan kidung pujian bagi Yesus dan Bunda Maria setiap malam.
"Mereka mengaji sejak Rabu Abu sampai Rabu Trewa," jelas Yohanes di Kapela Tuan Ma.
Saat Rabu Trewa tiba nanti, lanjut Yohanes, usai melakukan misa warga Larantuka bersiap dengan ritual membuat bunyi-bunyian, pertanda saat berduka menjelang hari kematian Yesus Kristus.
Pada malam Rabu Terbelenggu itu, warga mengenang peristiwa saat Yesus dibelenggu tentara Romawi lalu diseret mengelilingi Kota Nazareth setelah ditangkap akibat pengkhianatan muridnya, Yudas Iskariot.
"Warga membuat bunyi-bunyian dengan peralatan apa saja yang bisa menimbulkan bebunyian," ujar Yohanes.
Malam itu untuk terakhir kalinya warga diizinkan membuat bebunyian atau memasang musik, sesudahnya bunyi-bunyian dilarang.
Keesokan harinya, suasana di Larantuka akan sepi, tanpa bunyi-bunyian.
Menurut kepercayaan di Larantuka, warga bahkan tidak boleh mengangkat kakinya, tidak boleh naik pohon, memotong kayu dan membawa kendaraan dengan kencang pada saat itu.
Pada Kamis Putih itu, jemaat mengenang penderitaan Yesus di tiang salib. Mereka melakukan misa pagi di Gereja Katedral Renha Rosari.
Yohanes mengatakan, lewat imamat jemaat meyakini Yesus Kristus mengulurkan tangan dengan berbagai mukjizat, misalnya menyembuhkan penyakit melalui pemberkatan minyak suci.
Permintaan doanya, kata Yohanes, bisa juga dititipkan lewat kertas. "Kalau percaya, bisa betul-betul terkabul. Untuk pemeluk agama apapun itu," ujarnya.
Sementara itu, Kapela Tuan Ma dan Tuan Ana ditutup untuk jemaat. Saat itu ada ritual penting yang dilakukan oleh tim khusus yakni upacara memandikan patung Tuan Ma atau biasa disebut Munda Tuan serta memandikan patung putranya, Tuan Ana.
Pemandian dilakukan oleh tim yang mewakili 13 suku di Larantuka sekaligus anggota konfreria, organisasi religius yang berdiri sejak abad ke-16 untuk mengawal tradisi keimanan Kristus di Larantuka.
Pemandian itu berlangsung penuh haru. Mereka juga telah disumpah dibawah sumpah Kristus untuk merahasiakan pengalaman yang dialami sepanjang ritual.
"Mereka sudah disumpah dengan Tuhan yang merupakan rahasia iman bahwa tidak disampaikan ke siapapun sampai turun temurun," kata Perpetu Kapela Tuan Ana, Alex Nuhan.
"Ada kejadian yang ingin cari tahu, lalu dia meninggal," tambah Alex.
Usai ritual pemandian pada Kamis malam, Patung Tuan Ma dan Tuan Ana dikeluarkan dari ruang klausur.
Kedua kapela pun dibuka untuk jemaat. Jalan Dermaga di depan Kapela Tuan Ana dan Jalan Herman Vernandez di depan Kapela Tuan Ma hingga Gereja Katedral ditutup.
Selanjutnya warga bersiap menyambut Jumat Agung. Jemaat diizinkan untuk mencium Tuan Ma dan Tuan Ana.
Ritual mencium Tuan Ma dan Tuan Ana ini berlangsung hingga Jumat pukul 13.00 yang sebelumnya sudah didahului oleh keluarga kerajaan.
Ritual masih terus berlangsung. Pada jumat siang pukul 12.00, dilakukan prosesi laut membawa Tuan Meninu (bayi Yesus) dari Pantai Kota menuju pesisir Desa Pohon Sirih sebelum menuju Kapela Tuan Ma.
"Prosesi laut ini untuk mengenang kisah di Alkitab saat bangsa Israel menyeberang Laut Merah dalam sejarah gereja. Tuan Meninu turun melalui Tuan Ma," kata Alex.
Setelah prosesi laut, jemaat kembali melakukan misa kebaktian di Gereja Katedral dengan ritual mencium salib.
Hingga pukul 18.00, tiba lah saatnya warga bersiap mengantar Tuan Ma dan Tuan Ana keliling kota menuju setiap armida (tempat penataan patung) di dalam Kota Larantuka.
Puncak acara
Kanan kiri jalan di Kota Larantuka sudah dipasang lilin di atas bambu yang diumpamakan sebagai penerang jalan Tuhan pada puncak acara.
Warga memulai arakan dari Kapela Tuan Ma. Patung Tuan Ma atau Bunda Maria yang sudah didandani diarak menuju Kapela Tuan Ana untuk menjemput anaknya, Tuan Ana atau Yesus.
Ribuan orang mengiringi arak-arakan tersebut. Tidak hanya warga Larantuka, umat dari penjuru dunia, turis bahkan duta Vatikan hingga pejabat juga ikut menurut Yohanes.
Arak-arakan diiringi kidung doa yang dilantunkan para jemaat hingga pukul 02.00 malam.
"Tahun lalu, arak-arakan bisa mencapai 3000 hingga 4000-an orang. Biasanya ada juga orang Portugal yang datang karena sejarahnya ada kaitan antara Portugal dengan Larantuka," jelas Yohanes.
Ritual Paskah di Larantuka masih berlanjut hingga hari Sabtu. Pukul 07.00 Wita, ada arak-arakan mengantar Tuan Ma dan Tuan Ana pulang ke kapela masing-masing. Setelah itu, kapela pun ditutup untuk umum.
Pada sore harinya, warga Larantuka melakukan Misa Sabtu Santo atau Misa Malam Paskah. Pada waktu itu lah diperbolehkan adanya bunyi-bunyian.
Sejarah
Ritual prosesi Paskah di Larantuka tak lepas dari sejarah masuknya agama Katolik ke daerah itu.
Sekitar tahun 1510, seorang anak laki-laki bernama Resiona yang sedang mencari siput menemukan patung berwujud perempuan yang terdampar di bibir Pantai Larantuka.
Konon, patung setinggi 160 sentimeter itu terlempar dari sebuah kapal Portugis yang mengalami musibah di Selat Larantuka.
Patung tersebut dianggap sebagai benda keramat yang kemudian disimpan di rumah adat.
Saat itu warga di Larantuka belum memeluk agama sampai seorang padri (pastor) dari Ordo Dominikan datang dan menyampaikan bahwa patung tersebut adalah Reinha Rosari yang dikenal juga sebagai patung Mater Dolorosa atau Bunda Kedukaan.
"Lalu Raja Larantuka dibaptis Katolik. Semua rakyat jelata pun ikut Katolik," jelas Yohanes.
"Warga Larantuka bersyukur atas anugerah Tuhan memilih Larantuka sebagai tempat tinggal Bunda Maria," kata Yohanes.
Demi mengenang peristiwa itu, dibuat patung besar Mater Dolorosa yang berdiri gagah di pelataran depan Kapela Tuan Ana, tidak jauh dari bibir laut.
Dari kapela dengan patung Mater Dolorosa itu sesekali terdengar alunan suara gelombang dan awan-awan tampak berarak di langit biru cerah, menemani Larantuka bersolek menyambut Paskah.
Oleh Monalisa
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014