Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi Undang-Undang Pilkada yang dibacakan pada Selasa (20/8) merupakan koridor pas untuk demokrasi.

“Apa yang ditegakkan oleh MK, saya kira adalah koridor yang pas, kalau kita bicara soal demokrasi yang lebih sehat,” kata dia di aula Gedung I MK RI, Jakarta, Kamis, saat menyambangi MK bersama puluhan aktivis hingga guru besar lainnya.

Menurut dia, putusan tersebut merupakan bentuk upaya MK memperbaiki kualitas demokrasi sehingga patut diapresiasi. Namun, Zainal mengaku heran putusan yang baik itu tidak diakomodasi oleh pembuat undang-undang.

“Herannya kemudian masih mencoba untuk disiasati oleh sebuah kekuatan,” katanya.

Dalam hal ini, Zainal menyayangkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada yang terkesan terburu-buru. Ia mengingatkan, MK pernah menekankan, pembuatan undang-undang harus melibatkan partisipasi bermakna (meaningful participation).

“Ada undang-undang yang yang dibincangkan dalam waktu tujuh jam, lalu kemudian akan disahkan less (kurang) dari 24 jam ke depan,” ucap dia.

Lebih lanjut, Zainal menegaskan bahwa kehadirannya bersama puluhan aktivis, mahasiswa, masyarakat sipil, dan guru besar ke MK adalah atas nama masa depan demokrasi Tanah Air.

“Kita berkumpul di sini lagi-lagi bukan atas nama Ahok, bukan atas nama Anies, bukan atas nama siapa pun. Kita di sini atas nama masa depan demokrasi Indonesia,” tutur dia.

Diketahui, Selasa (20/8), MK dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 menegaskan penghitungan syarat usia calon kepala daerah, dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada, harus terhitung sejak penetapan pasangan calon.

Selain itu, MK juga mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. MK membatalkan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada dan menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada inkonstitusional bersyarat.

Lewat putusan tersebut, MK menyatakan partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPRD bisa mencalonkan pasangan calon kepala daerah. Penghitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilu di daerah bersangkutan, yakni berkisar dari 6,5 hingga 10 persen.

Kemudian, Rabu (21/8), Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan Pemerintah setuju melanjutkan pembahasan RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada pada rapat paripurna terdekat, guna disahkan menjadi undang-undang.

Namun, RUU Pilkada tersebut menuai polemik di masyarakat karena tidak sepenuhnya mengakomodasi Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024.

Hari ini, Kamis, DPR RI dijadwalkan melakukan rapat paripurna soal Revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). Akan tetapi, rapat ditunda karena jumlah peserta rapat tidak kuorum.

Baca juga: MK: Aspirasi aktivis hingga guru besar sesuatu yang membanggakan

Baca juga: Aktivis hingga guru besar serahkan karangan bunga dukungan kepada MK

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2024