Jakarta (ANTARA) - Direktur Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Didin Syafruddin mengatakan penerapan Pancasila yang komprehensif merupakan kunci kuatnya keberagaman.

Pasalnya, kata dia, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia dianggap sebagai ikatan yang mampu menyatukan banyak perbedaan. Melalui pemahaman Pancasila yang komprehensif, rakyat Indonesia diajak untuk saling mengenal satu dengan lainnya tanpa memandang suku, ras, ataupun agama.

"Pemahaman ini perlu ditanamkan sejak dini, bahkan mulai dari lembaga pendidikan formal hingga satuan pendidikan keagamaan," kata Didin dalam keterangan tertulis resmi yang diterima di Jakarta, Kamis.

Ia menekankan, Pancasila harus diterapkan secara menyeluruh, baik di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan pendidikan, karena Pancasila dapat menjembatani perbedaan dari berbagai latar belakang.

Untuk itu, sambung dia, Pancasila harus diikutsertakan dalam pengajaran di berbagai lembaga pendidikan, termasuk pada institusi dengan identitas agama tertentu.

Dengan demikian, Didin menuturkan akan sangat baik dan indah apabila lembaga pendidikan beridentitas agama mampu menyambut baik kehadiran warga negara dari latar belakang agama yang berbeda.

Dirinya berpendapat adanya aspek keterbukaan antarwarga negara yang berbeda keyakinan atau latar belakang membuat masing-masing golongan masyarakat bisa mengenal secara langsung berbagai penganut agama lainnya, sehingga masyarakat tidak mudah terprovokasi melalui media sosial ataupun berbagai sumber yang tidak bisa diacak asal-usulnya.

“Derasnya sebaran informasi yang tidak terkendali seringkali disalahgunakan untuk memprovokasi perpecahan,” ucap dia.

Didin menceritakan pula pengalamannya saat melakukan penelitian tentang kadar toleransi di kalangan anak-anak dan remaja. Dari penelitian itu, dia menyimpulkan bahwa anak-anak dan remaja yang toleran terhadap perbedaan agama cenderung merupakan mereka yang berpengalaman langsung hidup dalam kemajemukan.

Sementara pada tingkat makro, lanjut dia, anak-anak dan remaja yang punya kecenderungan intoleransi merupakan mereka yang merasakan kesenjangan secara sosial dan ekonomi.

Hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas hidup berpengaruh pada persepsi seseorang dalam menyikapi perbedaan latar belakang atau biasa disebut fenomena deprivasi ekonomi.

"Kesulitan-kesulitan hidup yang ada dipersepsikan oleh mereka yang mengalaminya sebagai ketidakadilan. Ini yang kemudian juga dapat memicu timbulnya sikap intoleransi,” ujar Didin menambahkan.

Oleh karena itu, dia menegaskan, penanggulangan intoleransi tidak hanya terbatas pada pemberian pemahaman melalui pendidikan formal dan informal. Penerapan Pancasila secara menyeluruh juga bicara tentang perbaikan kualitas hidup yang berujung pada peningkatan resistensi masyarakat terhadap ideologi transnasional.

Kendati demikian, dirinya menilai penerapan Pancasila yang komprehensif masih menyisakan pekerjaan rumah yang belum usai, salah satunya terkait adanya penolakan pendirian rumah ibadah bagi umat minoritas, padahal semua persyaratan administratif sudah dipenuhi.

Dia menyampaikan persoalan hak beribadah harusnya sudah sepenuhnya dijamin oleh negara untuk masing-masing warganya sebatas hak asasi setiap warga negara untuk bisa dengan leluasa dan bebas beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing.

"Ini semua bukan pekerjaan mudah, tapi arah ke sana harus menjadi perhatian bersama jika Indonesia ingin menjadi negara yang mampu menaungi semua kalangan," tuturnya.

Baca juga: Budayawan: Pancasila penawar efektif tangkal radikalisme dan terorisme

Baca juga: Mencegah distorsi nilai-nilai Pancasila melalui Gerakan Pramuka

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2024