Gaza (ANTARA) - Di kamp pengungsi al-Nuseirat di Gaza tengah, dua saudara perempuan, Dima dan Lama Aqel, berjuang untuk bertahan hidup di daerah kantong yang terkepung tersebut, di tengah kelangkaan obat-obatan dan sistem perawatan kesehatan yang berada di ambang kehancuran.

Kedua saudara perempuan itu, satu-satunya yang selamat dari delapan anggota keluarga mereka, kehilangan orang-orang terkasih dalam serangan udara Israel yang menghancurkan rumah mereka pada Juni lalu.

"Kami sedang menunaikan salat Isya ketika tentara Israel menyerang rumah kami ... Saya melihat ledakan besar, dan kemudian semuanya menjadi gelap," kenang Dima (16).

Setelah kehilangan kesadaran, Dima terbangun beberapa jam kemudian di Rumah Sakit Al-Aqsa di Deir al-Balah, dikelilingi oleh anggota keluarganya yang terluka. Dengan luka bakar yang menutupi 85 persen tubuh mereka, mereka menahan rasa sakit yang luar biasa, tetapi tidak menemukan lingkungan yang steril untuk perawatan. Kewalahan dengan banyaknya korban, rumah sakit tersebut kesulitan untuk menyediakan perawatan yang tepat waktu.
 
Seorang pasien anak-anak menerima perawatan di Rumah Sakit Nasser di kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, 19 Agustus 2024. ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad 


Meskipun para dokter di rumah sakit sudah berupaya maksimal, kekurangan obat-obatan berakibat fatal bagi orang tua, nenek, saudara laki-laki, dan bibi Dima. Dia dan saudara perempuannya yang berusia 12 tahun, Lama, adalah satu-satunya yang selamat.

"Para dokter sudah berusaha sebaik mungkin, tetapi orang tua dan saudara laki-laki saya tidak bisa mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan. Kondisi mereka semakin memburuk dari hari ke hari hingga mereka meninggal dunia," tutur Dima.   

Perang yang sedang terjadi telah mengakibatkan kekurangan bahan bakar dan pasokan medis yang parah, sehingga rumah sakit dan pusat perawatan kesehatan di Gaza hampir tidak beroperasi.

Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA), situasinya sangat buruk, terutama di Gaza utara.

Menderita patah tulang dan luka bakar, kedua saudari itu dalam kondisi mendesak untuk meninggalkan Gaza demi mendapatkan perawatan medis di luar negeri. "Tentara Israel membunuh orang tua saya dan menyebabkan kekurangan obat-obatan. Saya berharap dapat bertahan hidup," kata Lama.

Kisah keluarga Aqel adalah satu dari sekian banyak kisah. Ratusan pasien, sebagian besar korban luka bakar, meninggal karena perawatan yang tidak memadai, kata Yousef Mahani, seorang dokter bedah di Rumah Sakit Al-Aqsa.
 
  Seorang pasien anak-anak menerima perawatan di Rumah Sakit Nasser di kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, 19 Agustus 2024. ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad


Perang yang sedang terjadi telah mengakibatkan kekurangan bahan bakar dan pasokan medis yang parah, sehingga rumah sakit dan pusat perawatan kesehatan di Gaza hampir tidak beroperasi.

Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA), situasinya sangat buruk, terutama di Gaza utara.   Penutupan penyeberangan Rafah, gerbang utama Gaza untuk evakuasi medis dan bantuan kemanusiaan, semakin memperburuk krisis.

Mohamed Saleh, Direktur Rumah Sakit Al Awda, pada Senin (19/8) mengumumkan bahwa semua operasi telah ditunda karena kekurangan bahan bakar. Dia menyerukan pengiriman bahan bakar segera untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban jiwa. Peringatan serupa juga datang dari Rumah Sakit Kamal Adwan dan Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina, yang beroperasi hanya dengan dua ambulans yang berfungsi.
 
 Seorang pasien anak-anak menerima perawatan di Rumah Sakit Nasser di kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, 19 Agustus 2024. ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad

 Penutupan penyeberangan Rafah, gerbang utama Gaza untuk evakuasi medis dan bantuan kemanusiaan, semakin memperburuk krisis

Ismail al-Thawabta, kepala kantor media pemerintah yang dikelola Hamas, menyatakan bahwa sekitar 1.000 pasien meninggal karena luka-luka mereka dan ketidakmampuan meninggalkan Gaza untuk berobat, sementara 25.000 lainnya sangat membutuhkan perawatan medis di luar daerah kantong tersebut.

Al-Thawabta menyalahkan otoritas Israel dan pemerintah Amerika Serikat atas konsekuensi mengerikan dari penutupan penyeberangan tersebut, yang menurutnya telah menghambat pengiriman pasokan medis dan bantuan kemanusiaan.

Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2024