Padahal, ratifikasi Konvensi Bom Curah sebelumnya telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Persoalan politik menjadi kendala mengapa Indonesia belum melakukan ratifikasi,"

Yogyakarta (ANTARA News) - Pemerintah dan DPR tidak serius dalam membahas ratifikasi Konvensi Bom Curah, kata peneliti Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Rochdi Mohan Nazala.

"Padahal, ratifikasi Konvensi Bom Curah sebelumnya telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Persoalan politik menjadi kendala mengapa Indonesia belum melakukan ratifikasi," katanya di Yogyakarta, Jumat.

Pada diskusi "Suara Indonesia untuk Ratifikasi Konvensi Bom Curah", ia mengatakan persoalan ratifikasi Konvensi Bom Curah di Indonesia merupakan persoalan politik.

"Sampai saat ini belum ada komitmen untuk segera membahas dan mengesahkan ratifikasi Konvensi Bom Curah tersebut," kata dosen Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

Menurut dia, Konvensi Bom Curah (Convention on Cluster Munitions) tahun 2008 adalah perjanjian internasional komprehensif yang mengikat secara hukum dengan melarang penggunaan, produksi, penimbunan, dan transfer bom curah, yang membutuhkan penghancuran timbunan bom curah dalam delapan tahun, serta pembersihan tanah yang terkontaminasi bom curah dalam waktu sepuluh tahun.

Konvensi itu ditandatangani oleh 94 negara termasuk Indonesia, pada saat dibuka untuk ditandatangani di Oslo, Norwegia, pada 3 Desember 2008.

"Hingga 13 September 2013, sebanyak 113 negara telah menandatangani konvensi tersebut dan 84 negara telah meratifikasi," katanya.

Aktivis dari Jesuit Refugee Service Indonesia (JRSI) Lars Stenger mengatakan dampak bom curah yang telah terjadi di banyak negara yang berkonflik. Ribuan masyarakat termasuk anak-anak tewas maupun cacat akibat terkena bom curah.

Menurut dia, salah satu sebab mengapa bom curah masih diproduksi antara lain kepentingan bisnis industri militer khususnya negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Tiongkok, Rusia, dan Singapura.

"Di tingkat Asia kondisi itu juga perlu mendapat perhatian serius karena konflik yang masih terbuka untuk terjadi," katanya.(*)

Pewarta: Bambang Sutopo Hadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014