Jakarta (ANTARA) - Psikolog dari Universitas Pancasila Maharani Putri Langka mengungkapkan bahwa melaporkan tindak penganiayaan dapat memicu keberanian korban kekerasan yang lain untuk juga melapor.

Hal tersebut disampaikan menyusul laporan yang disampaikan oleh seorang wanita berinisial AIP (20) yang dianiaya oleh MBA (20). Kasus tersebut diungkap Kepolisian dan diberitakan di berbagai media dan viral di media sosial. "Kita lihat laporan seperti itu sudah bisa ditindaklanjuti dengan cepat gitu ya. Ini bisa mengurangi ketakutan yang dirasakan para korban," kata Maharani kepada wartawan di Jakarta pada Rabu.

Dengan akses yang semakin terbuka, kata dia, laporan menjadi semakin mudah. "Itu juga bisa sebagai sebuah akses mereka (korban lain) untuk membuat laporan," katanya.

Baca juga: Kak Seto desak usut tuntas kasus dugaan penganiayaan anak di penitipan

 Maharani menilai penting untuk berani melaporkan sebuah kasus penganiayaan untuk memutus rantai kasus tersebut.
 
"Kenapa itu penting sekali untuk melaporkan, karena kasus ini sebetulnya menjadi sebuah contoh bahwa korban sekarang sudah harus mulai berani, karena kalau tidak, kita tidak bisa memutuskan kekerasannya," kata Maharani.
 
Maharani juga meminta agar para orang tua semakin intens berkomunikasi dengan anak untuk mengantisipasi adanya indikasi kekerasan yang dialami oleh anak.
 
"Ayo deh, keluarga orang tua di rumah juga bicara lagi sama anaknya gitu ya, karena hal-hal seperti ini tidak boleh atau tidak bisa dihadapi sendiri ya seperti," kata Maharani.

Baca juga: Ibu penganiaya anak di Jagakarsa idap gangguan mental
 
Maharani juga mengimbau masyarakat agar tidak mengamini tindakan kekerasan dengan pembenaran seperti pelaku tidak sengaja, pelaku sedang kelepasan, pelaku sedang tidak bisa menahan emosi dan lainnya.
 
"Sering sekali banyak dari korban itu yang merasionalisasikan bahwa mungkin enggak sengaja, mungkin dia pas kelepasan saja dan sering sekali ketika kejadian seperti ini, setelah itu pelaku minta maaf kan. Jadi seakan-akan dia menyesal nih atau itu lagi apes saja gitu kan," kata Maharani.

 Korban juga diminta agar tidak merasa bersalah atas penganiayaan atau kekerasan yang terjadi padanya.

"Mungkin, banyak korban yang merasa kayaknya 'saya' (korban) yang salah. Hal-hal seperti imi membuat korban mencoba memperbaiki hubungan tersebut. Maksudnya gini ya, kita tahu bahwa dalam sebuah hubungan, konflik sangat mungkin terjadi, tapi kalau sudah melibatkan kekerasan, itu sebetulnya salah," kata Maharani.

Baca juga: Penganiayaan balita di Jakut, KPAI desak RUU Pengasuhan Anak disahkan
 
Menurut dia, perilaku kekerasan yang dibiarkan biasanya akan berulang. Jadi sebaiknya dilaporkan. Jika belum berani melapor ke polisi, kata Maharani, carilah keluarga terdekat untuk bercerita.

 "Pertama, biasanya korban enggak akan bisa keluar sendiri. Jadi dia harus mulai bicara sama orang-orang yang dipercaya gitu ya. Apakah itu orang tuanya gitu ataukah itu teman dekatnya, tetapi dari mulai bicara itu, mereka bisa mendapatkan insight," kata Maharani.

Dengan perspektif apapun, kata Maharani, kekerasan tidak dapat dilakukan terhadap pasangan atau orang lain.

"Mau apapun perspektifnya, kekerasan adalah sesuatu yang tidak bisa dilakukan terhadap pasangan sendiri, terhadap orang lain. Jadi kalau itu sudah melewati batas itu, maka sebetulnya kita perlu 'speak up' untuk diri sendiri," tutur Maharani.

Baca juga: Polisi tangkap pria penganiaya wanita di Jalan Barito

Polisi mengungkapkan motif pria berinisial MBA (20) menganiaya pacarnya yang berinisial AIP (20) dalam lift sebuah hotel di Cengkareng, Jakarta Barat, lantaran tidak diikutkan dalam swafoto yang dilakukan korban. Wakapolres Metro Jakarta Barat AKBP Teuku Arsya menyebut penganiayaan itu terjadi pada Selasa (11/7) sekira pada pukul 08.30 WIB, tepatnya di dalam sebuah lift saat adik pelaku wisuda di sebuah hotel di Cengkareng Timur, Cengkareng, Jakarta Barat.

 "Motifnya yang pertama, pelaku kesal kepada korban, karena pada saat di TKP ada kejadian korban swafoto sendiri enggak diajak pacarnya," katanya.

Mengingat korban punya media sosial dan di sini tersangka merasa fotonya tidak pernah diunggah (oleh korban). "Kemudian motif yang lain, cemburu," kata Arsya dalam jumpa pers di Jakarta pada Rabu.

Pewarta: Redemptus Elyonai Risky Syukur
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2024