"Kebutuhan karbohidrat seseorang cuma 180 kg per kapita per tahun. Kalau dihitung berdasarkan luas hutan sagu 60 ribu hektar, maka sedikitnya bisa menyediakan karbohidrat sebanyak 416 kg per kapita per tahun," kata Wardis Girsang, peneliti sagu dari Fakultas Pertanian Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, Jumat.
Dia mengajak semua pihak untuk memperhatikan prospek tersebut dan menggalakkan kembali sagu sebagai pangan pokok Maluku.
"Sagu menyimpan air, patinya banyak dan tahan dengan perubahan iklim, berbeda dengan padi yang rentan terhadap hama dan penyakit, lebih rakus air dan banyak menghasilkan gas metan ke udara sehingga mempengaruhi pemanasan global," ucapnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, dari sisi ekonomi, sagu lebih menguntungkan masyarakat Maluku, karena tumbuh subur di berbagai wilayahnya sehingga lebih mudah untuk didapatkan dan tidak perlu mengeluarkan banyak biaya seperti halnya pada beras.
"Sebanyak 70 persen kebutuhan orang miskin adalah untuk pangan kalau pengeluaran itu bisa dikurangi dengan mengganti beras dengan sagu. Tentunya ada sisa anggaran yang dapat digunakan untuk biaya pendidikan dan kesehatan," ucapnya.
Peneliti lainnya, Febby J. Polnaya mengatakan kendati tidak dibudidayakan dan masa tebangnya antara delapan hingga sembilan tahun, jumlah populasi sagu di Maluku tidak akan pernah habis digunakan karena pola pertumbuhannya yang berumpun.
"Saya kira sagu tidak akan habis digunakan meski yang kita punya cuma hutan sagu, karena tumbuhnya berumpun, ketika ketika pohon sagu utama ditebang, sagu berikutnya akan siap ditebang juga hanya dalam waktu satu atau dua tahun ke depan," katanya.
Pewarta: Shariva Alaidrus
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014