Jakarta (ANTARA) - Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) meminta Pemerintah untuk mengkaji ulang secara menyeluruh pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terkait Pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Ketua Umum GAPMMI Adhi Lukman menyampaikan perlunya evaluasi yang dilakukan secara komprehensif, dengan mengedepankan kajian risiko dan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder) terkait, utamanya industri makanan minuman pangan olahan selaku pelaku utama serta pembina industri agar tujuan nasional untuk masyarakat sehat dan juga industri nasional yang berdaya saing dapat berjalan beriringan.
“Mengutamakan edukasi kepada konsumen mengenai pentingnya konsumsi makanan dan minuman yang seimbang sesuai dengan kebutuhan setiap individu, istirahat dan aktivitas fisik yang cukup. Dengan demikian konsumen dapat memilih produk pangan yang dikonsumsi berdasarkan kandungan gula, garam, dan lemak sesuai dengan kebutuhannya”, kata Adhi Lukman dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
GAPMMI sendiri mendukung upaya Pemerintah untuk menciptakan masyarakat lebih sehat lewat PP Nomor 28 Tahun 2024 tersebut, namun dengan beberapa catatan.
"Terkait peraturan ini, GAPMMI selaku Gabungan Produsen Makanan dan Minuman mendukung tujuan baik pemerintah untuk menciptakan Masyarakat Indonesia lebih sehat dengan mengurangi Penyakit Tidak Menular tersebut," ujar Adhi.
GAPMMI memandang bahwa PP tersebut seolah memberikan seluruh permasalahan Penyakit Tidak Menular (PTM) kepada produsen pangan olahan semata.
Padahal, menurut Adhi faktor risiko PTM disebabkan oleh banyak faktor yang meliputi gaya hidup, kurangnya aktivitas fisik, kurangnya asupan cairan ke dalam tubuh, pengelolaan stres serta pola konsumsi makanan dan minuman sehari-hari yang tidak seimbang.
Kondisi gangguan kesehatan tidak berasal dari kekurangan atau kelebihan mengonsumsi jenis pangan tertentu sehingga bukan hanya berasal dari konsumsi pangan olahan saja.
Berdasarkan kajian Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2019 juga menemukan bahwa produk pangan olahan hanya menyumbang sebagian kecil dari konsumsi gula, garam, dan lemak masyarakat.
Konsumsi masyarakat terhadap gula, garam dan lemak didominasi oleh Pangan Non-Olahan seperti kuliner dan makanan sehari-hari yang dimasak di rumah tangga sebesar 70 persen, sementara Pangan Olahan hanya sebesar 30 persen.
“Menentukan batas maksimal gula, garam, lemak dalam produk pangan olahan saja, tentu tidak akan efektif menurunkan angka penyakit tidak menular, dikarenakan konsumsi gula, garam, lemak masyarakat, hanya sebagian kecil yang dikontribusikan oleh produk pangan olahan”, jelasnya.
Lebih lanjut, Adhi menjelaskan bahwa penentuan satu batas maksimum gula, garam, dan lemak untuk berbagai kategori produk makanan dan minuman akan sangat sulit diterapkan mengingat setiap produk memiliki karakteristik tertentu yang sangat bervariasi.
Gula, garam dan lemak memiliki fungsi teknologi dan formulasi pangan dimana produsen pangan olahan menggunakan gula, garam, dan lemak dalam produknya untuk berbagai tujuan dan alasan, termasuk rasa, tekstur, dan pengawetan.
Pembatasan kandungan gula, garam dan lemak tentu akan mempengaruhi fungsi teknologi dan formulasi pangan olahan.
PP Kesehatan dalam salah satu pasalnya membatasi dan/atau melarang penggunaan zat/bahan yang berisiko menimbulkan penyakit tidak menular. Yang mana dalam hal ini gula, garam dan lemak termasuk ke dalam bahan yang beresiko menimbulkan penyakit tidak menular.
Pelarangan penggunaan gula, garam dan lemak dalam produksi pangan sangat tidak dimungkinkan, karena ketiga bahan tersebut memiliki fungsi teknologi dan formulasi pangan.
"Hampir tidak ada produk pangan yg tidak memiliki kandungan gula, garam dan lemak kecuali air mineral," terangnya.
PP Kesehatan ini juga rencananya akan memungut cukai dan pelarangan iklan, promosi, serta sponsor kegiatan pada waktu, lokasi, dan kelompok sasaran tertentu, untuk produk-produk pangan olahan yang melebihi batas gula, garam, lemak tersebut.
Adhi menuturkan bahwa pemungutan cukai dan pelarangan iklan dan promosi ini akan mengurangi ruang gerak pelaku usaha pangan olahan dalam menjalankan usaha dan menjangkau konsumen sebagai target market dari produk-produknya.
Padahal, Kementerian Perindustrian mencatat industri makanan minuman merupakan salah satu sektor strategis penopang ekonomi nasional dan penyumbang produk domestik bruto (PDB) industri nonmigas sebesar 39,10 persen dan 6,55 persen terhadap PDB nasional pada tahun 2023.
"Di tengah perlambatan pertumbuhan industri makanan minuman saat ini, industri makanan minuman akan makin sulit berkembang, kehilangan daya saing, serta berisiko untuk tutup beroperasi dan mengurangi lapangan pekerjaan," ucapnya.
Baca juga: GAPMMI: Edukasi konsumen lebih penting ketimbang cukai minuman bergula
Baca juga: BRIN: Perlu data industri mamin siap saji optimalkan pembatasan GGL
Baca juga: DPR apresiasi PP 28/2024 atur soal pengendalian konsumsi GGL
Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2024