Pemerintah menghormati hak DPR untuk membentuk undang-undang meskipun ada putusan dari lembaga yudikatif seperti MK dan MA.

Jakarta (ANTARA) - Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menegaskan sikap pemerintah yang menghormati semua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan syarat calon kepala daerah.

"Dari pihak pemerintah, kami menghormati apa pun yang menjadi putusan MK. Tidak ada sikap lain selain menghormati putusan MK," ujar Nasbi di kompleks Istana Kepresidenan RI, Jakarta, Rabu.

Keputusan yang dimaksud adalah Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan calon kepala dan wakil kepala daerah pada pilkada, serta Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai syarat usia calon kepala daerah yang diambil saat penetapan oleh KPU.

Dalam kesempatan itu, Hasan Nasbi menanggapi pertanyaan mengenai perbedaan antara keputusan MK dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada yang dibahas oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Pasal 7 ayat (2) huruf e putusan MK mengatur tentang syarat usia untuk pencalonan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota.

Bunyi huruf e dalam pasal tersebut adalah berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota.

DPR sepakat syarat usia calon kepala daerah minimal 30 tahun dihitung saat pelantikan pasangan calon, berdasarkan hasil rapat panja revisi UU Pilkada yang menolak untuk mengakomodasi putusan MK.

Menurut dia, meskipun terdapat perbedaan waktu penetapan batas usia calon kepala daerah antara putusan MK dan keputusan MA, Pemerintah memilih untuk tidak berkomentar lebih lanjut tentang detail RUU Pilkada yang sedang dibahas.

Baca juga: Putusan MK cegah aksi borong dukungan terhadap paslon pada pilkada
Baca juga: Baleg sepakati aturan soal batas usia di RUU Pilkada merujuk MA

"Rancangan undang-undang ini 'kan inisiatif DPR, kalau tidak salah pada bulan November 2023 mereka sudah mengajukan inisiatif untuk membahas RUU Pilkada. Kalau tidak salah juga, pada bulan Januari surpres sudah keluar agar undang-undang itu bisa dibahas. Pada bulan Januari 2024," katanya.

Nasbi juga menjelaskan bahwa Pemerintah menghormati hak DPR untuk membentuk undang-undang meskipun ada putusan dari lembaga yudikatif seperti MK dan MA.

"Jadi, saya minta jangan berprasangka macam-macam dahulu. 'Kan sidangnya live ya, teman-teman bisa lihat live, sidang-sidang di DPR itu apakah kemudian mereka mengakomodasi keputusan lembaga-lembaga tinggi negara tadi atau tidak? Apakah mereka sejalan dengan keputusan lembaga-lembaga negara tadi atau tidak?" katanya.

Jika putusan lembaga-lembaga negara tidak diakomodasi dalam RUU Pilkada, Hasan memperkirakan akan terjadi sengketa aturan.

"Kalau tidak diakomodasi, tentu akan terjadi dispute terkait aturan," ujarnya.

Hasan Nasbi mengajak seluruh pihak untuk menghormati hak dari masing-masing pihak yang menerbitkan aturan. Seluruh sengketa akan ditangani melalui kamar yudikatif yang kemudian menjalankan kewenangannya.

"Seperti MK misalnya, juga menjalankan kewenangannya untuk mereviu atau membahas permohonan masyarakat yang ingin judicial review, dan mereka sudah mengeluarkan putusan," katanya.

Menurut Hasan Nasbi, Pemerintah juga akan menghormati dan mengikuti undang-undang yang disahkan oleh DPR.

"Pemerintah tugasnya menjalankan undang-undang yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang," katanya.

Namun, terkait dengan pelaksanaan pemilu, Hasan Nasbi menekankan bahwa peran KPU yang akan lebih dominan dalam proses tersebut.

Baca juga: Kelompok akademisi dan sipil desak DPR hentikan revisi UU Pilkada

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024