Perempuan dalam kehidupan politik memang menjadi tantangan yang berbeda dengan kultur budaya Indonesia,"
Bandarlampung (ANTARA News) - Perempuan harus bisa mengubah kultur dalam pemilihan legislatif, 9 April, selain dengan cara memenuhi kuota 30 persen di parlemen juga secara langsung turun ke dunia publik.
"Perempuan dalam kehidupan politik memang menjadi tantangan yang berbeda dengan kultur budaya Indonesia," kata Dosen Universitas Lampung (Unila) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Ari Darmastuti dalam dialog tentang keterwakilan perempuan dalam politik di kantor LKBN Antara Biro Lampung, Bandarlampung, Kamis.
Dalam kehidupan berpolitik, perempuan secara langsung akan turun ke dunia publik dan meninggalkan setengah dari wilayah domestik atau keluarga. Meskipun bagitu perempuan pun tidak harus menanggalkan kewajibannya sebagai seorang istri. Politik itu menjadi urusan perempuan dan laki-laki, sehingga harus diselesaikan bersama-sama.
"Pencapaian tujuan demokrasi mensyaratkan sebuah kemitraan yang sungguh-sungguh antara laki-laki dan perempuan untuk melaksanakan berbagai urusan kemasyarakatan dalam kondisi saling bekerjasama secara setara. Dan saling melengkapi, saling memperkaya atas dasar perbedaan yang ada diantara mereka," katanya.
Menurutnya, perempuan dan laki-laki harus mengerjakan pekerjaan secara bersama-sama dalam mengurus urusan publik atau politik maupun domestik. Dalam kultur yang ada saat ini bahwa perempuan lebih banyak mengurus urusan domestik dan laki-laki masalah publik. Dengan kuota 30 persen, maka perempuan harus bisa mengubah itu semua.
"Perempuan hanya boleh melakukan urusan publik setelah selesai urusan domestik. Peran publik boleh dilakukan dengan persyaratan-persyaratan," katanya.
Hal senada disampaikan, Aktivis Lembaga Advokasi Perempuan Damar Ana Yunita Pratiwi mengatakan bahwa keterwakilan perempuan di dalam parlemen menjadi sebuah hal yang patut diwujudkan.
"Fakta kondisi yang ada saat ini, dari pemerintah tingkat terendah desa dan rukun tetangga perempuan seringkali tidak dilibatkan dalam rapat-rapat," katanya.
Dia mengatakan bahwa perempuan pun bisa menduduki posisi sentral dalam pengambilan kebijakan. Namun penerapan suara terbanyak justru mempersulit hal itu bisa terjadi.
"Caleg perempuan rata-rata tidak memiliki basis sosial, karena kurangnya kesempatan mereka diruang publik," kata dia.
Menurutnya, perempuan harus berani tampil beda, dengan berani menyatakan perang pada citra-citra buruk yang menempel pada wakil rakyat sehingga memberi warna yang cerah.
Ia melanjutkan perempuan yang kelak duduk di parlemen pun wajib menjaga kualitas intelektual dan emosional. Menjadi pelopor untuk memperjuangkan isu kerakyatan terutama persoalan yang dekat dengan perempuan dan anak yang selama ini dianggap bukan persoalan penting.(*)
Pewarta: Roy Baskara Pratama
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014