Makassar (ANTARA) - Akademisi dari Fakultas Kelautan Universitas Hasanuddin, Dr Ir Muhammad Rijal Idrus mengatakan, Sulawesi Selatan memiliki indeks ekonomi biru (Blue Economic Index) tertinggi di Indonesia.

"Kalau sebelum pandemi COVID-19 indeks ekonomi biru tertinggi dimiliki oleh Jawa Timur berkisar 65 hingga 67 persen, namun setelah pandemi Sulsel menggeser Jawa Timur dan kini Sulsel indeks ekonomi birunya ada di 70 persen," kata Rijal pada Seminar Nasional tentang konservasi dan ekonomi biru yang digelar Yayasan Konservasi Laut (YKLI) Indonesia dan Burung Indonesia di Makassar, Selasa.

Dia mengatakan, indeks ekonomi biru di Sulsel ini adalah potensi yang harus dijaga dan dikembangkan hanya saja, dari sisi industri pengolahan Sulawesi Selatan masih tertinggal dengan daerah Jawa, sehingga pada saat sektor industri kemaritiman di Jawa bangkit kembali maka Sulsel terancam turun posisinya.

Sementara dari 12 sektor kemaritiman secara nasional berdasarkan data Bappenas 2023 diketahui, baru 2 sektor yang dimanfaatkan secara optimal yakni sektor tambang menjadi energi dan sektor perikanan tangkap dan budidaya.

Sementara untuk mendukung posisi Sulsel sebagai indeks ekonomi biru tertinggi di Indonesia, hendaknya tidak hanya memikirkan pemanfaatan dan pengelolaan kepulauan spermonde di Selat Makassar, tetapi lebih luas ke wilayah Wallacea yang memiliki bahan keilmuan dan menjadi perhitungan dunia.

Baca juga: RI dukung langkah konkret implementasi ekonomi biru di ASEAN
Baca juga: Menlu RI: Pengembangan ekonomi biru ASEAN harus berkesinambungan


Terkait dengan indeks ekonomi hijau dapat didorong untuk mensejahterakan masyarakat seperti di Australia yang sudah mengembangkannya menjadi wisata bahari dan telah meraih keuntungan sebesar USD56 miliar atau senilai sekitar Rp700 triliun.

Apalagi di Indonesia terdapat 548 diving sport yang tersebar dari Sabang sampai Merauke yang potensial dikelola sebagai wisata bahari.

Namun potensi tersebut lanjut Rijal, diperhadapkan dengan ancaman seperti sampah plastik di laut, sehingga ini menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk menjadikan potensi kelautan ini sebagai sumber untuk mensejahterakan masyarakat di sekitarnya.

Karena itu, kata dia, persoalan sampah plastik menjadi serius dan harus ditangani bersama, pada 2010 Indonesia menempati posisi kedua yang memiliki sampah terbanyak di dunia. Namun pada 2003 posisi Indonesia sudah turun menjadi posisi kelima di dunia dengan sampah terbanyak.

Hal itu karena persoalan sampah plastik sudah menjadi perhatian bersama dan berkolaborasi di lapangan untuk menanganinya.
 

Pakar Kelautan Universitas Hasanuddin Dr Ir Muhammad Rijal Idris (kanan) bersama Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Laut (YKLI) Indonesia Nirwan Dessibali di Makassar, Selasa (20/8/2024). Antara/ Suriani Mappong

Pewarta: Suriani Mappong
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2024