Setelah ada peluang mengusung sendiri atau tanpa koalisi, apakah mereka tidak "tergoda" ingin menampilkan kader-kader dan/atau figur yang punya elektabilitas tinggi (berdasarkan survei) pada Pilkada Jakarta 2024?

Semarang (ANTARA) - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 memberi peluang bagi partai politik peserta Pemilu 2024 yang tidak meraih kursi di lembaga legislatif dapat mengusung pasangan calon pada Pilkada 2024 asalkan memenuhi syarat.

Semula hanya memberi kesempatan partai politik peraih kursi DPRD, baik provinsi maupun kabupaten/kota, untuk mengusung pasangan calon pada Pilkada 2024 (vide Pasal 40 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015).

Pasal 40 ayat (1) menyebutkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

Namun, persyaratan tersebut telah dianulir majelis hakim Mahkamah Konstitusi. Majelis hakim MK lantas mengubah Pasal 40 ayat (1) sebagai berikut.

Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur, partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan:

a. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap (DPT) sampai dengan 2.000.000 jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10 persen di provinsi tersebut;

b. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada DPT lebih dari 2.000.000 jiwa s.d. 6.000.000 jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5 persen di provinsi tersebut;

c. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada DPT lebih dari 6.000.000 jiwa s.d. 12.000.000 jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5 persen di provinsi tersebut;

d. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada DPT lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5 persen di provinsi tersebut.

Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota:

a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada DPT sampai dengan 250.000 jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10 persen di kabupaten/kota tersebut;

b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada DPT lebih dari 250.000 s.d. 500.000 jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5 persen di kabupaten/kota tersebut;

c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada DPT lebih dari 500.000 s.d. 1.000.000 jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5 persen di kabupaten/kota tersebut;

d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada DPT lebih dari 1.000.000 jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5 persen di kabupaten/kota tersebut.

Di samping Pasal 40 ayat (1), majelis hakim MK juga menganulir Pasal 40 ayat (3). Pasal ini menyebutkan bahwa dalam hal partai politik atau gabungan partai politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk partai politik yang memperoleh kursi di DPRD.

Terkait dengan ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016, majelis hakim MK menyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Setidaknya putusan MK ini memberi peluang bagi partai politik yang tidak meraih kursi di DPRD (nonparlemen), baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sekaligus mencegah aksi borong dukungan terhadap pasangan calon pada setiap pilkada seperti pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Khusus Jakarta 2024.

Tercatat 12 partai politik secara resmi menandatangani piagam dukungan untuk mengusung Ridwan Kamil-Suswono sebagai bakal pasangan calon pada Pilkada Jakarta 2024.

Partai tersebut adalah Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Garuda, Partai Gelora, Partai Perindo, dan Partai Persatuan Pembangunan.

Setelah ada putusan MK tersebut, PDI Perjuangan yang meraih 15 kursi DPRD Provinsi DKI Jakarta berpeluang mendaftarkan pasangan calon di KPU Provinsi DKI Jakarta dalam rentang waktu 27—29 Agustus mendatang.

Akan tetapi, semua itu perlu ada revisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota (PKPU Pencalonan Kepala Daerah).

Dalam hal ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI perlu segera menyiapkan draf PKPU Pencalonan Kepala Daerah agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari, apalagi penetapan pasangan calon pada Pilkada 2024 memberi peluang pihak tertentu mem-PTUN-kan.

Apabila koalisi yang sudah terbentuk berubah pikiran, hampir semua parpol peraih kursi legislatif punya peluang mengusung pasangan calon, kecuali Partai Demokrat kurang dari 7,5 persen, atau meraih 7,32 persen suara sah pada Pemilu Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta 2024.

Untuk mencapai persentase itu, Partai Demokrat harus berkoalisi dengan partai politik peserta Pemilu 2024, baik parpol peraih kursi DPRD maupun parpol nonparlemen.

Simulasi pascaputusan MK, khusus di Jakarta, PKS (16,68 persen), PDI Perjuangan (14,01 persen), Partai Gerindra (12 persen), Partai NasDem (8,99 persen), PKB (7,76 persen), PSI (7,68 persen), dan PAN (7,51 persen) masing-masing bisa mengusung pasangan calon sendiri.

Setelah ada peluang mengusung sendiri atau tanpa koalisi, apakah mereka tidak "tergoda" ingin menampilkan kader-kader dan/atau figur yang punya elektabilitas tinggi (berdasarkan survei) pada Pilkada Jakarta 2024?

Menjelang detik-detik akhir pendaftaran pasangan calon di KPU Provinsi DKI Jakarta, 29 Agustus 2024, publik akan tahu jawabannya.

Editor: Achmad Zaenal M

Copyright © ANTARA 2024