Washington (ANTARA News/Reuters) - Para peneliti AS telah menemukan semacam saklar "on-off" dalam otak manusia yang mengendalikan emosi saat menghadapi rasa takut. Temuan ini diharapkan dapat dikembangkan lebih jauh untuk membantu pasien dengan gangguan jiwa.Tim peneliti dari Pusat Kesehatan Universitas Columbia melakukan pemindaian seketika untuk menangkap aktivitas otak manusia saat dihadapkan pada uji atensi sederhana. Hasilnya menunjukkan, terdapat spot di bagian rostral cingulate (rACC) pada otak yang terlibat dalam "menghidupkan dan mematikan" rasa takut di amygdala. Amygdala adalah pusat otak berbentuk kacang almon dimana respon emosional terhadap rasa takut diolah."Manusia dihadapkan pada sejumlah stimulus yang terus meningkat dalam kesehariannya dan kami yakin ada semacam mekanisme pada otak yang mengolah respon terhadap sesuatu, misalnya mendengar suara pekak atau melihat kejadian yang tidak diharapkan," ungkap Dr. Joy Hirsch, kepala penelitian tersebut, dalam jurnal Neuron.Para peneliti melakukan sebuah uji yang diberi nama "Stroop test" untuk mengidentifikasi bagian otak yang terlibat dalam pengolahan respon. Uji ini mengukur fleksibilitas mental dengan meminta obyek memilih antara warna dan kata yang mewakilinya. Misalnya, seseorang diminta untuk menyebutkan kata "merah" yang berwarna biru, "kuning" yang berwarna jambon, dan sebagainya.Orang biasanya akan merespon dengan lebih cepat apabila kata sesuai dengan warnanya.Tim Hirsch mengadaptasi uji ini dengan menggunakan foto berbagai wajah manusia saat senang dan ketakutan. Foto-foto itu diberi label "TAKUT" dan "SENANG" secara acak. Tim kemudian mengujinya pada 19 sukarelawan sehat dan memindai otak mereka pada saat yang sama.Hasilnya, amygdala bereaksi lebih dulu jika kata "TAKUT" dituliskan pada foto orang berwajah senang. Bagian rACC baru merespon saat wajah senang tersebut diperhatikan dan setelah itu reaksi amygdala mereda. Sebaliknya, amygdala tetap aktif saat foto wajah yang ketakutan diperlihatkan dengan label "TAKUT".Dr. Eric Kandel, rekan Hirsch dari Institut Medis Howard Huges, mengatakan bahwa pasien gangguan mental dan depresi kemungkinan dapat terbantu dengan penemuan ini. Menurut Kandel, jika pasien memiliki gangguan fungsi amygdala atau rACC di otaknya, perlakuan medis dapat diterapkan pada bagian-bagian itu saja. (*)
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2006