Mengapa tidak kita coba kurangi emisi PLTU Suralaya terlebih dahulu, sambil menunggu infrastruktur EBT sepenuhnya siap
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif ​​​Reforminer Institute, lembaga riset independen untuk bidang ekonomi energi dan pertambangan, Komaidi Notonegoro menilai rencana pemerintah untuk mempercepat penonaktifan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya memerlukan kajian mendalam dari segi biaya dan manfaatnya.

Dalam sebuah diskusi yang diikuti di Jakarta, Selasa, Komaidi mendukung transisi energi ke energi baru terbarukan (EBT), tetapi ia juga menekankan pentingnya menjaga keandalan pasokan listrik dan pemenuhan kebutuhan energi nasional.

Menurutnya, transisi energi harus dilakukan secara bertahap dan mempertimbangkan kondisi yang ada.

Ia mengusulkan beberapa opsi yang dapat dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk menutup PLTU Suralaya. Salah satunya adalah dengan mengurangi emisi yang dihasilkan oleh pembangkit tersebut melalui penerapan teknologi penangkapan karbon atau pemanfaatan sumber energi alternatif lainnya.

“Tujuan utama dari penutupan PLTU adalah untuk mengurangi emisi. Mengapa tidak kita coba kurangi emisi PLTU Suralaya terlebih dahulu, sambil menunggu infrastruktur EBT sepenuhnya siap,” ujarnya.

Ia juga menyoroti tantangan dalam pengembangan EBT, terutama ketergantungannya pada kondisi cuaca. Ia mencontohkan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang membutuhkan cadangan pembangkit fosil untuk beroperasi pada malam hari.

“Masalahnya bukan hanya emisi, tetapi juga biaya. Bayangkan saja, kalau kita punya PLTS 5 gigawatt, kita juga butuh pembangkit lain sebesar 5 gigawatt sebagai cadangan. Artinya, kita harus mengeluarkan biaya dua kali lipat untuk menghasilkan listrik yang sama. Ini yang seringkali terlewatkan dalam perhitungan pemerintah,” katanya.

Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya mengatakan pemerintah berencana untuk menutup PLTU Suralaya di Banten demi menekan polusi udara di Jakarta.

“Kami (akan) rapatkan nanti yang di PLTU Suralaya itu sudah banyak polusinya, sudah beroperasi lebih dari 40 tahun,” kata Luhut di Jakarta, Rabu (14/8).

PLTU Suralaya yang dibangun pada 1984 itu merupakan salah satu kompleks PLTU terbesar di Indonesia. Terletak di Cilegon, Banten, PLTU ini telah menjadi tulang punggung pasokan listrik untuk wilayah Jawa dan sekitarnya selama beberapa dekade.

PLTU Suralaya mengelola tujuh unit pembangkit dengan total kapasitas terpasang sebesar 3.400 MW dan menyumbang 17 persen kebutuhan listrik Jawa-Bali.

Baca juga: Menteri ESDM: Penutupan PLTU Suralaya harus ada EBT sebagai pengganti
Baca juga: Jelang HUT RI, PLN EPI amankan stok energi primer capai 20 HOP
Baca juga: PLN: Konsumsi biomassa menghasilkan 2 persen listrik dari PLTU


Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2024