Ketenagakerjaan juga harus melihat profesionalisme, jangan tergantung tren
Jakarta (ANTARA News) - Profesi peneliti masih dianggap sebelah mata di Indonesia, demikian tokoh pendidikan Prof. Dr. Arief Rachman, MPd.
Dia mencontohkan, orangtua umumnya berat hati bila anaknya bercita-cita peneliti. Pasalnya, ada ketakutan bahwa menjadi peneliti di Indonesia tidak menjamin kebutuhan finansial.
Arief mengakui bahwa perlakuan pemerintah pada para peneliti belum sebaik negara-negara lain. Bila di luar negeri, negara dapat menyediakan berbagai fasilitas mumpuni bagi peneliti untuk menjalankan proyeknya, lain halnya dengan Indonesia.
"Contohnya, para pemenang olimpiade banyak yang diambil negara lain dan diberikan laboratorium yang harganya miliaran. Sementara kita belum mampu, paparnya di Jakarta, Rabu.
Tidak heran bila banyak peneliti cerdas Indonesia yang memilih berkarir di negara lain karena kesempatan, fasilitas, dan pendapatan yang lebih menjanjikan. "Saya berani bilang tanpa data, tapi saya yakin 60 persen lulusan terbaik Indonesia tidak bekerja di Indonesia karena banyak alumni seperti dari ITB dan UI di luar negeri," ujarnya.
Menurut Arief, perlu dukungan banyak pihak agar bibit-bibit peneliti di Indonesia semakin berkembang. Orangtua disarankan untuk mendorong keinginan anak bila ingin menjadi peneliti, begitu pula dengan pendidik.
"Ketenagakerjaan juga harus melihat profesionalisme, jangan tergantung tren. If you are good you will get money," tutup dia. Pemerintah juga diharapkan dapat berkolaborasi dengan para ilmuwan dan peneliti dalam menentukan kebijakan publik sehingga lebih bermanfaat dan tepat guna.
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2014