Tanjung Selor (ANTARA) - Di sudut utara Pulau Kalimantan tersimpan kisah heroik tentang perjuangan kemerdekaan yang tak lekang oleh waktu. Tanjung Palas, sebuah kecamatan yang bersebelahan dengan Tanjung Selor, Ibu Kota Kabupaten Bulungan, sekaligus Ibu Kota Provinsi Kalimantan Utara, menjadi saksi bisu momen bersejarah ketika Sang Saka Merah Putih pertama kali berkibar di tanah Benuanta, julukan Kaltara.
Tepat pada tanggal 17 Agustus 1949, di tengah suasana penuh haru dan gelora semangat juang, bendera Merah Putih berkibar dengan gagahnya di depan Istana Kesultanan Bulungan. Peristiwa bersejarah ini menandai bergabungnya Kesultanan Bulungan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kisah pengibaran bendera merah putih pertama kali di Tanjung Palas ini menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Momen ini menjadi simbol kuat tentang semangat persatuan dan kesatuan dalam cita-cita kemerdekaan.
Tepat pada 17 Agustus 2024, atau 79 tahun kemerdekaan Indonesia, masyarakat menggelar napak tilas peringatan HUT Kemerdekaan RI.
Koordinator kegiatan, Joko Supriyadi mengungkapkan, prosesi napak tilas berupa upacara bendera dan agenda kebudayaan lainnya menjadi salah satu pengingat akan peristiwa bersejarah tersebut.
"Upacara ini tidak hanya sekadar seremonial, tetapi juga menjadi sarana untuk menanamkan nilai-nilai patriotisme dan sejarah Bulungan kepada generasi muda," ujar Joko.
Warisan yang harus dilestarikan
Kisah pengibaran bendera merah putih pertama kali di Tanjung Palas menjadi sejarah warisan luhur yang harus dilestarikan oleh generasi penerus. Melalui berbagai kegiatan seperti napak tilas, pameran sejarah, dan lomba-lomba bertema kemerdekaan, diharapkan semangat juang para pahlawan dapat terus hidup di hati masyarakat.
Bagi generasi muda, peristiwa bersejarah ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya menghargai jasa para pahlawan yang telah berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Semangat juang, persatuan, dan kesatuan yang ditunjukkan oleh para pendahulu harus menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk terus berkarya dan membangun bangsa.
Dengan demikian, Tanjung Palas tidak hanya menjadi sebuah wilayah di ujung utara Pulau Kalimantan, tetapi juga memiliki makna historis yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Darah ini menjadi simbol persatuan bangsa dan semangat juang yang tak pernah padam.
Upacara HUT Ke-79 RI di depan Keraton Kesultanan Bulungan bukan sekadar seremoni belaka, melainkan sebuah bentuk penghormatan mendalam terhadap para pahlawan yang telah berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
"Walaupun untuk pertama kalinya dilaksanakan sejak tahun 1949 silam, kegiatan hari ini sangat luar biasa dan bermakna bagi masyarakat," ujar Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesra Setprov Kaltara, Datu Iqro Ramadhan, yang bertindak sebagai inspektur upacara pada 17 Agustus 2024.
Dalam rangkaian upacara, yang juga cukup mencuri perhatian adalah para pemuda pembawa baki dan pengibar bendera. Lino Stevanus, Januardi, Abdul Hafid Maulana, dan Aulia Rizqiyah, para pelajar dari SMA Negeri 1 dan SMK Negeri 1 Tanjung Palas, dengan mantap menjalankan tugas mulia mereka. Setiap langkah mereka seakan membawa pesan semangat juang para pendahulu Kesultanan Bulungan tetap hidup di generasi muda.
Upacara yang berlangsung khidmat ini tidak hanya menjadi momen refleksi atas perjuangan masa lalu, tetapi juga menjadi ajang untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Teks Proklamasi yang dibacakan oleh Ainun Faridah, Anggota DPRD Provinsi Kaltara, kembali mengingatkan akan makna kemerdekaan dan pentingnya menjaga keutuhan NKRI.
Mencapai puncaknya
Ketua Lembaga Adat Kesultanan Bulungan, Datu Buyung Perkasa mengatakan pada awal 1949, politik perjuangan kemerdekaan pada setiap tokoh-tokoh di Kesultanan Bulungan mencapai puncaknya. Perundingan diadakan terus menerus.
“Kemudian Sultan bersama Datu Bendahara Paduka Raja memutuskan bahwa sudah tiba saatnya Sang Saka Merah Putih harus dikibarkan dalam wilayah Kerajaan Bulungan,” kata Datu Buyung.
Pada 16 Agustus pukul 21.00, Sultan dan Bapak Datu Bendahara Paduka Raja turun menuju halaman istana untuk memeriksa tiang bendera dan tali-temalinya yang telah disiapkan sebelumnya.
Keesokan harinya, tepat pada 17 Agustus 1949 segenap rakyat Bulungan berikut para undangan termasuk NICA (Netherlands Indies Civil Administration, yang berarti Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) dengan militer KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda yang sengaja diundang untuk turut menghormati upacara penaikan Sang Saka Merah Putih.
“Sultan memberi perintah upacara segera dimulai, maka tidak ada kata-kata yang melukiskan perasaan para tokoh-tokoh serta rakyat Bulungan ketika itu menyaksikan Merah Putih dengan perlahan-lahan naik ke puncak dan berkibar bebas, pertanda bahwa penjajahan telah terhapus bersih dari bumi persada Indonesia,” ujar Datu Buyung.
Bendera Merah Putih yang berkibar terus-menerus selama beberapa hari, membuat pihak NICA mendatangi Istana Tanjung Palas dan menemui Sultan dan Datu Bendahara Paduka Raja, meminta agar bendera tersebut segera diturunkan.
Tetapi kedua Tokoh tersebut tetap bertahan, malah memberi perintah yang lebih serius lagi yakni bendera harus berkibar siang malam dan bersemboyan “Sekali berkibar tetap berkibar”.
“Pihak NICA hendak mengambil tindakan apa, terserah, Kesultanan saat itu bersedia menghadapi setiap kemungkinan, bertanggung jawab dan konsekuen atas pendirian, bahwa kalau Pemerintah Republik Indonesia menghadapi perjuangan berdarah, maka Bulungan bersedia pula menghadapi perjuangan berdarah itu bersama,” demikian Datu Buyung Perkasa.
Kaya budaya
Kesultanan Bulungan merupakan salah satu kerajaan Islam tua di Kalimantan yang memiliki sejarah panjang dan kaya budaya. Berdiri sekitar abad ke-16, kesultanan ini memainkan peran penting dalam sejarah Nusantara, terutama dalam konteks penyebaran Islam dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Kisah pendirian Kesultanan Bulungan berawal dari legenda seorang bangsawan dari Kesultanan Brunei bernama Datuk Mencang yang terdampar di wilayah ini. Dengan kepiawaiannya, ia berhasil mempersatukan suku-suku dan mendirikan kerajaan.
Kesultanan Bulungan mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-18 dan ke-19. Wilayah kekuasaannya meliputi daerah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Bulungan, Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, Kota Tarakan, dan wilayah Sabah, Malaysia.
Kedatangan Islam ke wilayah ini membawa perubahan besar dalam kehidupan masyarakat Bulungan. Nilai-nilai Islam terintegrasi dengan budaya lokal, melahirkan peradaban yang unik.
Dalam sejarah Indonesia, Kesultanan Bulungan berperan aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pengibaran bendera merah putih pertama di Kalimantan Utara dilakukan di kompleks Keraton Kesultanan Bulungan pada 1949.
Kesultanan Bulungan menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, seperti Kesultanan Brunei dan Kesultanan Kutai Kartanegara.
Kesultanan Bulungan meninggalkan warisan budaya yang kaya seperti bangunan-bangunan bersejarah seperti istana, masjid, dan rumah adat mencerminkan perpaduan antara budaya Islam dan lokal.
Selain itu, adat istiadat masyarakat Bulungan masih kental dengan pengaruh Islam, seperti tradisi pernikahan, upacara kematian, dan sistem kekerabatan. Sedangkan kesenian tradisional seperti tarian, musik, dan kerajinan tangan menjadi ciri khas budaya Bulungan.
Saat ini, Kesultanan Bulungan menghadapi berbagai tantangan dalam melestarikan warisan budaya. Modernisasi dan globalisasi mengancam kelestarian tradisi dan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur.
Namun demikian, upaya pelestarian terus dilakukan, seperti pembangunan museum, penyelenggaraan festival budaya, dan pendidikan sejarah kepada generasi muda.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024