Menurut kami itu (PPN 12 persen) perlu direviu kembali, karena dengan kondisi daya beli yang lemah saat ini
Jakarta (ANTARA) - Ekonom Senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan menilai rencana Pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen tahun depan perlu untuk dievaluasi lagi.

Sebab, melihat kondisi perekonomian domestik saat ini di mana terjadi penurunan daya beli masyarakat akan menimbulkan dampak negatif lebih jauh bagi ekonomi nasional.

"Menurut kami itu (PPN 12 persen) perlu direviu kembali, karena dengan kondisi daya beli yang lemah saat ini, ketika kita menaikkan PPN itu akan berdampak lebih parah ke perekonomian yang akibatnya instead of menaikkan penerimaan, tapi gara-gara ekonomi yang turun penerimaan malah jadi berkurang," kata Deni saat media briefing CSIS terkait RAPBN 2025 di Jakarta, Senin.

Deni memaparkan, sebenarnya alasan Pemerintah dalam menaikkan PPN 12 persen bisa dipahami, yakni untuk menggenjot penerimaan negara dan rasio pajak. Ia pun menyetujui bahwa penerimaan negara dari segi perpajakan saat ini cenderung masih lesu dengan rasio pajak atau tax ratio yang turun di level 10,12 persen.

Kementerian Keuangan hingga Juli 2024 telah mencatat total penerimaan negara mencapai Rp1.545,4 triliun atau 55,1 persen dari target APBN. Namun, terdapat kontraksi sebesar 4,3 persen dibandingkan tahun lalu.

Berdasarkan data tersebut, total penerimaan pajak hingga Juli 2024 mencapai Rp1.045,32 triliun atau setara 52,56 persen dari target APBN.

Deni menilai, lesunya penerimaan negara terutama dikarenakan masih tingginya ketidakpastian ekonomi global dan tren pelemahan harga komoditas internasional yang akan menyulitkan peningkatan penerimaan negara, khususnya perpajakan.

"Dari sisi penerimaan kita menyadari bahwa kita butuh peningkatan penerimaan, tax ratio masih sangat rendah hanya sekitar 10 persen-an dan itu lebih rendah dibanding jaman SBY (Susilo Bambang Yudoyono). Tapi itu tidak berarti ketika kita mau meningkatkan penerimaan pajak yang dilakukan adalah peningkatan PPN 11 jadi 12 persen," jelasnya.

Lebih lanjut, Deni menyampaikan bahwa peningkatan rasio pajak patut terus dilakukan, namun harus tetap memerhatikan dampak ekonomi.

Ia memberikan beberapa langkah yang dapat dilakukan Pemerintah. Pertama, perluasan basis dan perbaikan efisiensi pemungutan pajak sebaiknya diutamakan dibandingkan kenaikan tarif pajak.

Kedua, pemberian insentif pajak perlu dilakukan secara lebih selektif, diutamakan pada yang membuka lapangan kerja.

Sementara, Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri mengatakan, aturan kenaikan PPN 12 persen sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebenarnya tidak harus dijalankan, namun hanya diberikan opsi dalam menaikkan PPN.

Keputusan untuk diterapkan atau tidaknya, menurutnya, perlu untuk mempertimbangkan kondisi perekonomian saat ini.

"Tetapi bisa aja enggak dijalankan juga dengan melihat berbagai fiscal space yang ada. Kita enggak tahu di sini apakah anggaran itu dibangun dengan asumsi bahwa PPN-nya akan naik jadi 12 persen atau enggak," ucap Yose.

Baca juga: Menkeu beri sinyal soal kelanjutan rencana PPN 12 persen
Baca juga: Menteri PPN: RKP 2025 telah dipadupadankan dengan program "quick win"

Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2024