Surabaya (ANTARA News) - Eksekusi terpidana mati kasus kerusuhan Poso, yakni Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, yang direncanakan pada 22 September, akan menjadi ukuran bagi ketegasan aturan eksekusi atau grasi dan menjadi ukuran bagi keadilan pelaksanaan hukuman mati itu. Aturan tentang eksekusi dan grasi selama ini memang tidak tegas, sehingga mudah dimasuki aspek politis. Karena itu, eksekusi Tibo cs akan menjadi ukuran bagi ketegasan aturan dan keadilan pelaksanaan aturan, ujar pakar hukum dari Universitas Surabaya (Ubaya) Sari Mandiana SH MS kepada ANTARA di Surabaya, Rabu. Ia mengemukakan hal itu, menanggapi rencana eksekusi Tibo cs pada 22 September setelah tertunda dua kali, yakni 9 Maret dan 12 Agutus. Bahkan penundaan eksekusi kedua (12/8) diumumkan langsung Kapolri Jenderal Pol Sutanto, sedangkan penundaan pertama dilakukan Kapolda (saat itu), Brigjen Pol Oegroseno untuk mengungkap pelaku pembantaian massal di Poso. Menurut Sari yang juga dekan Fakultas Hukum (FH) Ubaya itu, aturan eksekusi perlu diperjelas tentang pelaku kasus apa yang dapat di-eksekusi, kemudian aturan grasi juga perlu dipertegas tentang batasan waktu untuk melakukan eksekusi dari waktu penolakan grasi, Karena vonis tentang hukuman mati dari pengadilan itu, sebenarnya sudah berkekuatan hukum tetap. "Kalau selama ini ditunda-tunda terus, ya karena kategori tindak kejahatan yang harus di-eksekusi dan batas waktu eksekusi sejak grasi ditolak juga tidak ada kejelasan, sehingga politisi mudah masuk untuk mempolitisir kasus hukum yang tidak ada ketegasan itu," paparnya. Bahkan, kata alumnus S-2 Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu, akan dapat menjadi pemicu dari ketidakadilan. "Contohnya adalah rencana eksekusi Tibo cs dan Ali Imron cs yang selaku dikait-kaitkan untuk alasan penundaan eksekusi," tegasnya. Oleh karena itu, jika tidak ada ketegasan dalam aturan dan tidak ada keadilan dalam pelaksanaan aturan eksekusi itu, maka aturan eksekusi sebaiknya ditiadakan dan diganti dengan hukuman seumur hidup. "Jangan sampai seperti almarhumah Ny Astini yang di-eksekusi setelah belasan tahun dipenjara dengan mengajukan grasi berkali-kali dan ditolak berkali-kali. Itu masih tidak seberapa dibanding penundaan eksekusi Tibo cs, karena penundaan itu justru memperkeruh situasi di sana," ungkapnya. Ia menambahkan, penundaan eksekusi Tibo cs justru akan selalu menimbulkan aksi demonstrasi dan teror bom berkali-kali, sehingga penundaan eksekusi Tibo cs itu "mengorbankan" rakyat Poso.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006