Jakarta (ANTARA News) - Parni Hadi meluncurkan buku berjudul Jurnalisme Profetik yang merupakan hasil pemikiran dan perenungannya sejak menapaki karir jurnalistik awal 1973.

Buku ini diluncurkan bersamaan dengan acara Temu Kangen Wartawan Lintas Generasi dari yang tertua, Herawati Diah, 96 tahun, sampai yang termuda Nilam Zubir 18 tahun pada Minggu (30/3) di Omah Betari Sri, Jakarta Selatan.

Sekitar 150 orang menghadiri acara tersebut.

"Untuk apa semuanya ini?" sebuah pertanyaan yang sering muncul dan berkelindan dalam benak Parni.

Ia memulai karir jurnalistiknya dari bawah sebagai reporter dan kemudian memimpin Republika, Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA, lalu RRI serta terlibat dalam beberapa organisasi pers di dalam dan luar negeri.

Sampai sekarang, pada usia 65 tahun, ia masih aktif menulis.

Parni selalu didera pertanyaan itu dan berusaha mencari makna atas profesi yang digelutinya dengan intens sejak awal.

Dengan berbagai pengalaman naik dan turun, akhirnya ia menemukan jawaban ini: "Menjadi wartawan sebagai ibadah."

Kata profetik berasal dari bahasa Inggris prophetic. Artinya adalah kenabian. Jurnalisme profetik adalah jurnalisme kenabian.

Maksudnya, jurnalisme yang meneladani akhlak dan perilaku mulia para nabi dan rasul dari semua agama.

Tugas para nabi dan rasul, menurut Al Quran, adalah untuk menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan,mengajak orang berbuat kebaikan dan memerangi kebatilan atau amar makruf, nahi munkar.

Tugas itu sama dengan apa yang diemban para wartawan, menurut fungsi pers dan kode etik jurnalistik yang bersifat universal.

Jadi, pada dasarnya para wartawan adalah pewaris dan penerus tugas kenabian, kata dia.

Nabi dan rasul menjalankan tugas atas perintah dan petunjuk dari Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, melalui proses atau laku spiritual.

Nabi dan rasul melaksanakan perintah Allah dengan kepatuhan penuh, sukarela, suka cita dan penuh cinta kepada sesama sebagai ibadah kepada Allah, Sang Maha Pecinta.

Parni meyakini, manifestasi ajaran agama apa pun yang paling sublim dan bisa diterima oleh semua pemeluk agama adalah Cinta. Karena itu, Jurnalisme Profetik sama dengan Jurnalisme Cinta.

Dia mengatakan wartawan profetik bekerja dengan ketangkasan fisik, kecerdasan intelektual dan sosial, serta sekaligus kecerdasan spiritual.

Tujuannya adalah melayani publik dengan penuh cinta tanpa memandang suku, ras, budaya, agama dan ideologi.

Sekalipun menekankan pentingnya cinta sebagai landasannya, jurnalisme profetik tidak berarti lembek atau toleran terhadap kejahatan kepada kemanusiaan, termasuk korupsi.

Justru, jurnalisme profetik menyerukan perang kepada korupsi dengan menggalakkan investigative reporting.

Jurnalisme profetik juga adalah melakukan kontrol dari dalam (control from within) berdasar iman, agama apa pun yang dianut, kata dia.

Sekaligus, jurnalisme profetik juga menganjurkan sesuatu di luar dunia tulis-menulis dan penyiaran (beyond call of journalism), yakni berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk publik: aksi kepedulian sosial.

Parni telah mencoba melakukan keduanya: dakwah lewat informasi (bil qalam) dan dakwah lewat aksi (bil hal).

Gelisah Mencari Kebenaran
Parni mulai bekerja sebagai wartawan di LKBN ANTARA dengan berbagai penugasan dan posisi, termasuk sebagai wartawan Istana Presiden dan kepala perwakilan ANTARA di Eropa, berkedudukan di Hamburg, Jerman, selama tujuh tahun.

Ini memberinya pelajaran dan pengalaman sangat berharga tentang bagaimana dapat bekerja sebagai wartawan kantor berita resmi milik pemerintah di dalam dan luar negeri untuk melayani kepentingan publik.

Betapa diperlukan kiat-kiat tertentu untuk menyiarkan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran di zaman pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Pak Harto yang melaksanakan sistem pers Pancasila. Dalam era ini ia mengenal dan mengamalkan "Jurnalisme Kapstok" dan "Jurnalisme Kepiting."

Keterlibatannya dalam membidani kelahiran dan kemudian memimpin koran Republika, mulai akhir tahun 1992 sampai awal 2001, memberi pelajaran dan pengalaman luar biasa.

Parni yang beragama Islam, tapi bukan santri, ditugasi memimpin sebuah koran yang diniatkan sebagai penyampai aspirasi umat Islam atau tepatnya para cendekiawan Muslim yang bergabung dalam ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) di bawah pimpinan BJ Habibie, yang dikenalnya secara tidak sengaja pada tahun 1977, dan kemudian menjadi sahabat sangat dekat sampai sekarang.

Adalah Habibie yang mengirim dia belajar ke Jerman. Dan, Habibie pula yang memintanya memimpin Republika.

Di koran ini, Parni berinteraksi intens dengan tokoh-tokoh Islam yang moderat dan juga yang dianggap bergaris keras. Ia banyak belajar tentang ajaran Islam di Republika.

Ketika Habibie diangkat menjadi Presiden ketiga RI, Parni ditugasi untuk memimpin ANTARA. Ia menjadi pemimpin puncak ANTARA pertama yang berasal dari orang dalam yang meniti karir dari bawah. Habibie lengser, naiklah Gus Dur dan Parni pun tergusur.

Parni menyalurkan energi, keterampilan, pengetahuan dan pengalaman jurnalistiknya dengan tetap menulis dan menjadi "host" di radio dan televisi, di samping aktif di berbagai kegiatan sosial, antara lain di Dompet Dhuafa Republika yang didirikannya dan di Kwarnas Pramuka.

Ia pun lolos seleksi untuk jabatan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) dan menduduki jabatan itu selama lima tahun, 2005-2010, sesuai kontraknya.

Parni adalah orang luar dan pegawai non-PNS pertama yang memimpin RRI.

Ia selalu gelisah mencari makna dari apa yang dikerjakannya dengan tujuan untuk memberikan yang terbaik.

Dan, buku ini menceritakan kisah perjalanan karir dan bahkan sejarah hidupnya, karena hampir seluruh waktunya diabdikan untuk profesi jurnalistik yang digelutinya dengan intens, sepenuh jiwa dan sepenuh cinta.

Buku yang disunting oleh Ahmadie Thaha, eks-wartawan Republika tersebut merupakan kelanjutan dari buku "HBX: Inspiring Prophetic Leader" yang ditulis Parni Hadi bersama Nasyith Majidi, eks-wartawan Republika.

Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014