Jakarta (ANTARA News) - Inilah kampanye yang bukan untuk Pemilu. Inilah kampanye untuk menyiapkan Indonesia masa depan: gerakan sayang ibu.
Targetnya memenangkan hati ibu-ibu untuk mau menerima aliran gas alam ke dapur-dapur di rumah mereka. Melalui pipa. Bukan melalui tabung.
Juru kampanye yang satu ini bukan tokoh-tokoh nasional, melainkan ibu-ibu dari sebuah RT di Jakarta Timur. Yakni RT 09 RW 12 Kelurahan Malaka Jaya, Kecamatan Duren Sawit.
Hari itu, Rabu lalu, di RT tersebut dideklarasikan dua gerakan. Yang pertama "gerakan sayang ibu" tadi. Yang kedua "gerakan satu juta sambungan". Yang mendeklarasikan adalah Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk, Hendi Prio Santoso.
Dalam waktu dua tahun ini, kata Hendi, PGN akan menyambungkan satu juta sambungan baru langsung ke dapur-dapur rumah penduduk.
Ini tentu sebuah ambisi yang besar dari PGN. Tapi bukan tidak realistis. Apalagi program ini memang sangat strategis. Yang terabaikan oleh PGN sepanjang sejarah hidupnya sejak zaman Belanda.
Selama ini PGN memang menjadi perusahaan besar dengan laba yang besar, namun perannya di masyarakat belum dirasakan langsung secara luas.
PGN masih dikenal sebagai BUMN yang terlalu asyik sebagai pedagang gas. Belum sebagai pelayan masyarakat secara masif. Bayangkan dalam umurnya yang sudah begitu tua baru memiliki sekitar 100.000 sambungan. Bandingkan dengan PLN yang sudah memiliki lebih dari 50 juta sambungan.
Kini PGN punya tekad yang bukan main-main. Tekad pengabdian yang sangat besar. Tiba-tiba dalam dua tahun ke depan PGN akan langsung melakukan satu juta sambungan. Saya yakin Hendi mampu mewujudkannya.
Saya memang memiliki permintaan khusus kepada direksi PGN. Yakni agar pemakaian gas alam produksi Indonesia bisa dialirkan ke sebanyak mungkin masyarakat. Seperti di banyak negara maju. Sebenarnya memang agak aneh kalau rumah-rumah mewah pun masih menggunakan gas elpiji. Dengan segala keruwetan distribusinya.
Program memasyarakatkan elpiji sendiri saya akui sangat sukses. Berhasil membuat penduduk yang dulunya menggunakan minyak tanah yang sangat mahal itu beralih ke elpiji. Masyarakat bisa berhemat, negara juga diuntungkan. Subsidi minyak tanah berkurang.
Tapi keberhasilan program elpiji itu tidak boleh meninabobokan kita. Harus ada gerakan berikutnya: beralih ke gas alam.
Gas alam adalah produk dalam negeri. Seharusnya lebih banyak digunakan untuk bangsa sendiri. Aneh kalau kita ekspor gas alam tapi impor elpiji dan BBM. Ke depan gas alam haruslah sebanyak mungkin diprogramkan untuk menggantikan BBM dan elpiji.
Kita mestinya menangis meraung-raung memikirkan besarnya impor BBM. Kini dan lebih-lebih masa depan. Produksi minyak mentah kita turun terus. Cadangan minyak mentah kita memang tidak besar lagi. Berarti impor BBM kita akan terus membengkak.
Sementara itu produksi gas kita terus meningkat. Cadangan gas kita juga masih besar. Jelaslah akal sehat harus mengatakan: mari kita beralih ke bahan bakar yang berbasis gas alam. Ibu-ibu Duren Sawit sudah merasakan sendiri "alangkah serba lebihnya" gas alam dibanding elpiji.
"Harganya lebih murah. Kami bisa lebih hemat 30 persen," ujar Bu Santina, Bu RT di Malaka Jaya hari itu. "Kami juga tidak pernah khawatir kehabisan gas," tambahnya.
Berdasarkan pengalaman itulah PGN akan melancarkan kampanye khusus. Temanya pun akan lebih fokus ke ibu-ibu. PGN sudah menemukan kata kuncinya: "kampanye sayang ibu". Dengan tema itu maka ibu-ibu akan bergegas merayu suami mereka untuk minta beralih ke gas alam.
Rasanya, dengan rayuan ibu-ibu itu, kalau suami mereka benar-benar menyayangi sang istri, peralihan itu akan lancar.
Memang tidak mudah mensukseskan gerakan satu juta sambungan ini. Membangun jaringan gas alam lebih sulit dari membangun jaringan listrik. Pipa gas itu harus ditanam di dalam tanah. Izin menanam pipa gas tidak sederhana. Tapi sekali infrastruktur gas alam ini terbangun banyaklah masalah yang bisa diatasi. Termasuk masalah padatnya lalu-lintas distribusi gas elpiji.
Gema kampanye ini segera meluas. Ibu-ibu wilayah Halim sudah menghendaki penyambungan gas alam. Ada 6.000 rumah yang merasa siap disambungkan. Silakan PGN melayani mereka. Kalau perlu mencarikan pinjaman bank untuk biaya penyambungan pertama.
Setiap rumah memang perlu mengeluarkan uang untuk membangun pipa sekitar Rp 5 juta. Tapi nilai itu akan lunas dalam tiga tahun dari selisih harga elpiji dan biaya langganan bulanan gas alam. Pasti banyak bank yang mau menyalurkan dananya ke sektor ini.
Saya akan memberikan dukungan maksimal pada program strategis PGN ini. Termasuk menerobos berbagai hambatannya. Misalnya di Semarang dan beberapa kota sekitarnya. PGN akan membangun jaringan pipa distribusi gas alam ke rumah-rumah penduduk. Tapi izinnya ada di tangan PT Rekin. Waktu tender dulu PGN kalah. Rekin nomor 1, PGN nomor 2.
Tapi Rekin tidak kunjung membangun jaringan itu. Padahal sudah lima tahun izin ada di kantongnya. Maka Rekin akan saya minta mundur. Kebetulan perusahaan itu adalah anak perusahaan BUMN. Saya sudah hubungi direksi holding-nya. Sudah disanggupi. Rekin saya minta fokus pada bisnis utamanya: engineering.
Rekin harus menjadi perusahaan engineering kebanggaan bangsa. Sejak krisis ekonomi tahun 1998 tinggal Rekinlah perusahaan engineering kelas dunia yang masih dimiliki bangsa ini. Dua perusahaan lainnya sudah jatuh ke tangan asing.
Untuk tender-tender internasional EPC dan engineering, praktis Indonesia hanya diwakili Rekin. Karena itu tidak boleh lengah. Proyek-proyeknya harus selesai tepat waktu.
BUMN sendiri sering melakukan tender internasional. Seperti Pertamina untuk proyek-proyek besarnya. Juga PLN, Pelindo, Angkasa Pura dan yang lainnya. Kalau reputasi Rekin di kelas internasional merosot proyek-proyek itu akan jatuh ke perusahaan luar negeri.
Maka saya minta Rekin mundur dari bisnis distribusi gas alam. Dengan demikian jaringan distribusi gas alam di Semarang itu otomatis akan digantikan PGN, yang sudah lebih siap membangunnya.
Rekin, kalau perlu mengakuisisi perusahaan sejenis di Eropa. Sebagai "kuda sembrani" untuk memenangkan tender-tender internasional di Indonesia.
Gas alam adalah masa depan energi kendaraan dan rumah tangga kita. Langkah mewujudkannya memerlukan kerja, kerja, kerja!(*)
Oleh Dahlan Iskan, Menteri BUMN
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014