Oleh Ella Syafputri Jakarta (ANTARA News) - Di antara lebih dari satu miliar orang yang meyakini Allah sebagai Tuhan semesta alam dan Nabi Muhammad sebagai rasul-Nya, pencapaian surga pada kehidupan yang kekal tak jarang menjadi alasan pembenar untuk "bercerai" sesama umat, bahkan saling bunuh. Atas nama surga, ada orang yang memilih meninggalkan sekolah, keluarga, dan pekerjaannya untuk menyampaikan dakwah dari pintu ke pintu, dari satu kota ke kota lain, bahkan dari satu negara ke negara lain. Metode "mengejar" surga yang dipraktikkan oleh Jamaah Tabligh itu menjadi pembuka novel karya Ziauddin Sardar, yang lahir pada tahun 1951 di Dipalpur, Pakistan Utara, kemudian sejak kanak-kanak beremigrasi dengan keluarganya ke London, Inggris. "Pengikut Tabligh hanyalah satu di antara banyak kelompok dalam Islam. Setiap kelompok memiliki formula tentang surga di dunia dan Hari Akhir, juga mewakili garis pandangan, kekuatan, sekaligus tantangan yang berbeda," tulis Sardar, yang juga dikenal sebagai pakar teknologi informasi, jurnalis, dan dosen. Peristiwa yang membangunkan surga bagi Sardar terjadi saat ia berusia 20-an. Kunjungan dua orang penggiat Jamaah Tabligh membukakan "jendela" pemahaman Sardar tentang apa itu surga dan bagaimana orang-orang pendamba surga mengejar impiannya. Dalam buku catatan perjalanannya, Sardar merunut sejarah beberapa aliran besar dan gerakan yang ada dalam Islam, antara lain Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslim) di Mesir dan Jamaah al Islami di Pakistan -- dua organisasi gerakan Muslim yang paling berpengaruh terhadap berbagai pergerakan Muslim di seluruh dunia. Selain menyajikan pengalaman pribadi, Sardar juga memadatkan sejarah tokoh-tokoh Islam, mahzab, intelektual Muslim, dan kritikan terhadap pola mistisme dalam Islam (sufi) yang tak jarang merenggut seseorang dari kehidupan sosial yang normal. "Aku menyaksikan bagaimana Syekh Nadzim membawa adik laki-lakiku kepada kebangkrutan ekonomi, pengabaian keluarga, dan penolakan total. Setelah mengikuti ordo selama dua dekade, dia mengeluh bahwa Syekh telah mengambil alih hidupnya," tulis Sardar. Kisah pencarian surga Sardar sangat diperkaya dengan berbagai catatan kejayaan Islam pada masa lalu. Ia menyebutkan tentang kecemerlangan Al Kindi, Al Razi, dan Al Ghazali yang telah memanusiawikan Eropa. Namun berbagai cerita muram di negeri-negeri Islam, seperti Irak, Syria, Mesir, Turki, dan Malaysia pun tak luput dari pengembangan ide pencarian surga yang menjiwai novel Sardar. Bab lain yang juga ditulis apik oleh dosen di Universitas City, London, ini adalah tentang kondisi Mekah yang demikian tak terkendali bila musim haji tiba. Padatnya lalu lintas jamaah, kepulan asap dari cerobong knalpot kendaraan, sesak manusia di semua lokasi ritus wajib, semuanya dibuat simulasi untuk kemudian ditunjukkan kepada para petinggi Arab Saudi. Namun betapa kecewanya Sardar ketika melihat pengunjung presentasi terkesan dengan teknologi tim peneliti, namun tidak dengan hasilnya. Di bagian tengah cerita, Sardar memberikan perhatian yang sangat mendalam terhadap Revolusi Islam di Iran dan sekularisasi ala Turki. Dengan gaya bercerita yang menampilkan diskusinya dengan orang lain, atau sesama pemerhati, kontributor berkala "New Statesment" tersebut menunjukkan dukungan serta penolakannya terhadap dua peristiwa besar itu. Saat dikurung akibat memasuki Iran tanpa visa, Sardar berpikir bahwa revolusi di Iran tidak mengukuti revolusi yang dicontohkan Nabi Muhammad ketika kembali ke Mekkah setelah pengasingannya di Medinah. "Nabi Muhammad memaafkan semua yang menentang `revolusinya`, sementara Ayatullah Khomeini membiarkan balas dendam menyebar," tulis dia. Otokritik Bagi sebagian orang, buku Sardar menawarkan berbagai otokritik terhadap umat Muslim di seluruh dunia, dengan pengalamannya masing-masing tentu saja. Lewat goresan penanya, Sardar "membedah" titik-titik lemah beragam pandangan yang dianut aliran-aliran Islam lewat metode tanya-jawab atau refleksi pemikiran. Revolusi Islam ala Iran, misalnya, boleh jadi cocok untuk diterapkan di negeri Persia, tapi penulis berpikir revolusi Iran tidak lantas harus diterapkan di semua negeri berpenduduk Muslim. Sekularisme di Turki juga. Sardar menyadari betul bahwa proses pemisahan agama dari kehidupan sehari-hari yang dipraktikkan di daratan Eropa adalah gerakan yang disebabkan oleh alasan yang berbeda dengan latar belakang Ataturk "menyihir" Turki menjadi negeri yang sekuler. Sekularisasi di Turki berasal dari kerendahdirian orang Turki. Rasa rendah diri terhadap Barat yang berkembang sejak kekalahan militer dari kekuasaan Eropa tahun 1699 dan 1718. Di bagian lain buku Sardar, terdapat bab yang secara khusus "memuntahkan" berbagai penolakan terhadap "Ayat-ayat Setan" karya Salman Rushdie. Ia mengaku setiap kata, setiap ejekan, dan setiap hinaan dalam "Ayat-ayat Setan" dirasakannya sebagai serangan pribadi, karena "Nabi Muhammad-lah yang memberikan alasan utama menjadi Muslim." Namun kemarahan terhadap Salman Rushdie tidak lantas Sardar biarkan menjadi amarah yang memusnahkan secara membabi buta. Buku dilawan dengan buku, begitulah prinsipnya meniru tradisi Islam yang dicontohkan oleh intelektual kenamaan Al Ghazali dan Ibnu Rushdi. Berbicara surga, Sardar juga berbicara tentang multikulturalisme di dalam Islam itu sendiri dan lingkungan yang ditinggali umat Muslim. Sebagai contoh, ia merekam perkembangan Malaysia di tengah geliat multikulturalisme era Perdana Menteri Mahathir Muhammad dan Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim. Bagi Sardar, sosok Anwar Ibrahim adalah sosok intelektual Muslim yang seharusnya tersebar banyak di setiap negeri-negeri Muslim. Dengan kadar kepedulian dan kesigapannya melihat kebobrokan korupsi di balik pertumbuhan pesat Malaysia, seorang ahli genetik yang berkawan dengan Sardar, bahkan memiliki ide bahwa seharusnya Anwar Ibrahim dikloning bila ingin melihat masyarakat Muslim kembali meraih kejayaan. Namun sekali lagi pencarian itu harus menemui perhentian, karena Anwar Ibrahim kemudian "dilumatkan" karir politiknya oleh rejim yang dulu sempat menjadikan Anwar sebagai anak emas calon pengganti pemimpin negeri. "Perjalanan mengarahkanku pada kesimpulan yang tak dapat dihindari: surga Muslim bukanlah tempat kedatangan, melainkan sebuah pengembaraan. Sebagaimana kita tidak dapat berhenti untuk hidup, kita juga tidak dapat berhenti mencari surga. Tapi pencarian adalah proses `menjadi` yang berkesinambungan. Aku menemukan semua surga yang gagal, berdasarkan keimanan yang salah tentang kedatangan kita di sana," tulisnya. Selamat mengembara bersama Sardar!Judul : "Desperately Seeking Paradise: Jorneys of A Sceptical Muslim" yang dialih bahasakan menjadi "Kisah Perjalanan Hidup Seorang Muslim Skeptis"Alih bahasa : Risa PraptonoPenulis : Ziauddin SardarPenyunting : Tim DiwanHalaman : vii + 485 halaman Penerbit : PT. Diwan PublishingCetakan pertama : Februari 2006(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006