Jakarta (ANTARA) - Ketua Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) Cosphiadi Irawan mengatakan dirinya menyayangkan bahwa akses pasien ke trastuzumab, pengobatan untuk kanker payudara jenis HER2+, masih belum optimal karena kendala birokrasi.

Dia menjelaskan, trastuzumab adalah pengobatan standar sejak lebih dari satu dekade lalu untuk kanker payudara jenis HER2+ yang terjadi pada satu dari lima pasien kanker payudara. Meskipun jenis kanker ini tumbuh lebih cepat dan banyak menyerang pasien berusia muda, apabila diobati sejak stadium dini dengan baik, harapan kesembuhannya tinggi.

“WHO melalui Global Breast Cancer Initiative menargetkan 60 persen pasien kanker payudara terdiagnosis sejak stadium dini, diagnosis ditegakkan maksimal 60 hari, dan setidaknya 80 persen pasien mendapatkan akses terhadap pengobatan yang sesuai standar medis,” ujar Cosphiadi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Dia mengutip Global Burden of Cancer Study (Globocan) dari World Health Organization (WHO), bahwa terdapat 408.661 kasus kanker di Indonesia pada 2022. Cosphiadi menuturkan, kanker tersebut merupakan kanker yang paling banyak ditemukan di Indonesia dan menjadi penyebab kematian kanker tertinggi, yakni 9,3 persen.

Baca juga: Yang perlu diketahui tentang vaksin kanker payudara

Pendiri dan ketua Cancer Information and Support Center (CISC) Aryanthi Baramuli Putri menjelaskan, pihaknya mengapresiasi upaya pemerintah dalam memastikan akses pengobatan kanker.

Dia menjelaskan, saat peraturan Menteri Kesehatan dikeluarkan yang menyatakan trastuzumab dijamin untuk kanker payudara stadium dini, pasien sangat menaruh harapan besar untuk bisa mendapatkan obat yang sangat dibutuhkan.

Aryanthi menyebutkan, masih ada beberapa kebijakan dan implementasinya yang belum optimal sehingga pelayanan yang seharusnya bisa diberikan kepada pasien masih terhambat.

"Sayangnya, hingga saat ini hak mereka belum bisa diwujudkan. Obat masih belum bisa diakses," katanya.

Dalam pernyataan yang sama, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk mendengarkan dan mencari solusi, meskipun tantangan utamanya terkait kebijakan dan bukti ilmiah.

Baca juga: Mengetahui faktor reproduksi terkait risiko kanker payudara

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024