Kotoran hewan yang dibiarkan terbuka bisa melepaskan gas rumah kaca, yang 20--30 kali lebih berbahaya daripada karbon dioksida
Kuningan (ANTARA) - Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menawarkan solusi alternatif untuk pemanfaatan energi. Alih-alih bergantung pada sumber daya fosil dari perut Bumi, daerah ini melirik potensi energi di balik tumpukan kotoran sapi.
Kotoran sapi, yang selama ini sering dianggap sebagai limbah menjijikkan, telah disulap menjadi sumber energi alternatif yang menjanjikan.
Gerakan transisi ini dimulai dengan menerapkan teknologi tepat guna pada salah satu peternakan di Kuningan bernama Koperasi Serba Usaha (KSU) Nugraha Jaya.
Membentang di lahan seluas 1 hektare, koperasi ini memiliki 750 anggota, serta memelihara 50 sapi yang dirawat dengan telaten.
Bisa dibilang koperasi ini bukanlah peternakan biasa. Sebab, kelompok ini memiliki fasilitas cukup lengkap, mulai dari kandang sapi hingga pabrik pengolahan pakan.
Koperasi itu mampu menghasilkan 21.500 liter susu setiap harinya. Sebelum pandemi COVID-19, jumlah produksinya bahkan mencapai 35.000 liter per hari.
Seperti disebutkan di awal, yang membuat koperasi tersebut istimewa bukan hanya volume produksi susunya, melainkan inovasi dalam pemanfaatan energi.
“Biogas ini dimanfaatkan untuk kebutuhan energi sehari-hari, menjadikan peternakan kami lebih produktif sekaligus berkelanjutan,” kata penyuluh koperasi itu, Jhon Nais, kepada ANTARA.
Di peternakan tersebut telah terpasang instalasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS)-biogas, sebuah terobosan yang menempatkan KSU Nugraha Jaya sebagai pelopor dalam penerapan prinsip zero waste di Kabupaten Kuningan.
Para peternak di sini memanfaatkan biogas, dari kotoran sapi yang diolah menjadi energi terbarukan.
Kehadiran PLTS-biogas ini juga menarik perhatian berbagai kalangan. Salah satunya Penjabat (Pj.) Gubernur Jawa Barat Bey Triadi Machmudin yang menyempatkan waktu untuk bertandang ke Kuningan pada Juli lalu.
Bey menyebut inovasi ini sebagai langkah besar menuju masa depan yang lebih hijau. Sebab dengan pengaplikasian PLTS-biogas, para peternak bisa merasakan sejumlah manfaat.
Misalnya, pencemaran sungai akibat limbah kotoran sapi berkurang menjadi 657 ton per tahun, dan emisi gas rumah kaca turun hingga 848,65 ton CO2 equivalent per tahun.
Peternak juga bisa merasakan penghematan biaya yang signifikan, dengan nilai mencapai Rp94,5 juta per tahun dari penggunaan PLTS dan Rp17,7 juta per tahun dari pemanfaatan biogas sebagai pengganti LPG.
Meskipun bukan yang pertama, kelompok ini menjadi pelopor dalam pemanfaatan biogas sebagai sumber energi terbarukan di Kuningan.
Mengolah limbah
PLTS-biogas di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, ini merupakan karya cemerlang dari para peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB), yang kemudian dipercayakan kepada koperasi tersebut untuk dikelola.
Keberadaan fasilitas ini merupakan bagian dari komitmen Jawa Barat untuk memanfaatkan sumber energi dari feses sapi, sekaligus memberikan dampak positif bagi lingkungan sekitar.
Proyek inovatif ini dimulai pada 2017, ketika Pemerintah Provinsi Jawa Barat membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk berkontribusi dalam pembangunan daerah di bidang energi.
Saat itu, tim peneliti ITB segera melakukan survei ke berbagai lokasi di provinsi tersebut. Salah satu wilayah yang dipilih adalah Kabupaten Kuningan.
Diskusi dengan pemerintah setempat pun dilakukan. Hasilnya mengungkapkan masalah serius dihadapi masyarakat, yakni pencemaran lingkungan akibat limbah peternakan yang mengalir hingga ke wilayah perkotaan.
Berdasarkan temuan ini, tim ITB langsung mengajukan proposal untuk membangun sistem pengolahan limbah yang inovatif, dengan mengadopsi sistem bio-slurry.
“Berawal dari situ kami membuat usulan kegiatan untuk pembuatan sistem yang bisa mengolah limbah menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat. Kami usulkan, baru disetujui untuk program pada tahun 2019,” kata Rahmat Romadhon, Ketua Pelaksana Program Hibah Sistem PLTS-Biogas ITB.
Salah satu keunggulan dari sistem ini terletak pada efisiensinya dalam menghasilkan energi. Dengan produksi biogas sekitar 14--15 meter kubik per hari dari feses sapi, cukup untuk memanaskan air, menghasilkan listrik, serta memenuhi kebutuhan operasional lainnya di peternakan.
"Dari biogas yang dihasilkan, kami dapat memenuhi kebutuhan energi untuk pemanas air sekitar 2 meter kubik. Kalau mau mengonversi jadi listrik, produksi yang ada di situ sekitar 25 kWh sampai 30 kWh,” kata Rahmat.
Sistem ini tidak hanya menghasilkan biogas, tetapi juga mengolah sisa limbah. Instalasi reaktor tersebut dirancang untuk mencegah pencemaran dan memaksimalkan manfaat dari setiap proses.
Selain menghilangkan limbah, fasilitas ini mampu menghasilkan pupuk cair serta padat yang digunakan untuk menyuburkan tanah.
Pupuk cair yang dihasilkan sekitar 1 kubik per hari, sementara endapannya mencapai 1 ton per minggu, yang kemudian dapat digunakan oleh peternak maupun penduduk setempat.
Namun demikian, proyek ini menghadapi kendala saat pandemi COVID-19 melanda, yang menyebabkan terhentinya beberapa bagian dari instalasi sistem tersebut.
Baru pada tahun 2022, proyek ini dilanjutkan dengan pemasangan PLTS berkapasitas 15 kWh. Pembangkit ini mampu memenuhi kebutuhan listrik dari peternakan dan mendukung proses operasional.
Tahun 2023 membawa perkembangan lebih lanjut dengan pemasangan PLTS kedua dengan kapasitas 41 kWh, yang mendukung kebutuhan energi untuk pabrik pakan ternak di koperasi tersebut.
Kedua PLTS ini dirancang dengan sistem yang terpisah. PLTS yang berkapasitas 15 kWh menggunakan skema on grid sehingga masih terhubung dengan jaringan listrik PLN.
Sementara PLTS yang berkapasitas 41 kWh, dirancang dengan skema off grid, yang berarti tidak terhubung dengan instalasi listrik PLN.
Dengan kapasitas total 56 kWh, sistem ini mampu menutupi kebutuhan energi secara menyeluruh, bahkan mengurangi ketergantungan terhadap energi dari listrik negara.
Inovasi ini bukan hanya mengubah cara pengelolaan limbah di Kuningan, tetapi juga memberikan pelajaran berharga tentang keberlanjutan dan efisiensi dalam penggunaan energi terbarukan.
Potensi biogas
Potensi biogas di Kabupaten Kuningan, khususnya di Kecamatan Cigugur relatif cukup tinggi bila melihat jumlah populasi sapi di kawasan tersebut.
Walaupun proyek di koperasi itu menunjukkan keberhasilan dalam mengolah limbah menjadi energi terbarukan, tantangan untuk menerapkan sistem serupa di peternakan lainnya tetap ada.
Salah satunya terkait biaya pembangunan reaktor biogas yang relatif tinggi sekitar Rp15 juta per unit, serta kebutuhan lahan dan tambahan aktivitas operasional.
Oleh karena itu, penerapan sistem ini lebih efektif dilakukan dalam bentuk komunal dibandingkan secara individual.
Tim peneliti dari ITB pun kini sedang mengkaji kemungkinan membangun sistem pengolahan limbah terpusat yang dilengkapi dengan jaringan perpipaan yang menghubungkan rumah-rumah warga.
Dengan demikian, warga dapat langsung menikmati manfaat dari energi terbarukan tanpa perlu melakukan banyak usaha tambahan.
“Biogas sebetulnya bisa mencemari lingkungan. Kotoran hewan yang dibiarkan terbuka bisa melepaskan gas rumah kaca, yang 20--30 kali lebih berbahaya daripada karbon dioksida. Itu yang kami hindari,” ujar Rahmat.
Kini, memiliki desa-desa yang mandiri energi dan berkelanjutan bukan lagi utopia karena Kabupaten Kuningan telah membuktikannya.
Langkah ini pun sejalan dengan visi Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI dalam memaksimalkan potensi pada sektor energi baru terbarukan (EBT).
Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) menyebutkan pemanfaatan biogas di Indonesia, ditargetkan bisa mencapai 489,8 juta meter kubik pada 2025.
Untuk mendorong penggunaan biogas lebih masif, Pemerintah kemudian meluncurkan Perizinan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 35203 pada 9 Maret 2023.
Perizinan ini memberikan kesempatan bagi pelaku usaha untuk mengembangkan bisnis dengan pemanfaatan biogas, termasuk melalui proses upgrading menjadi biometana (CH4).
Biometana disebut juga sebagai biogas naik kelas karena menjadi produk turunan dengan pengolahan lanjutan.
Biometana dihasilkan melalui pengolahan biogas dengan kemurnian CH4 lebih dari 91 persen, dengan nilai kalori antara 900 hingga 1.014 British Thermal Unit (BTU)/Standard Cubic Foot (SCF).
Bioenergi sebagai energi terbarukan
Indonesia telah menetapkan komitmen yang teguh untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Sebagai langkah konkret menuju tujuan tersebut, Pemerintah sudah memperbarui target Nationally Determined Contribution (NDC).
Kebijakan tersebut diambil untuk memitigasi perubahan iklim khususnya mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 31,9 persen pada 2030, melalui skenario business as usual atau usaha sendiri serta 43,2 persen dengan bantuan internasional.
Selain itu, Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya inisiatif untuk mencapai target bauran energi, salah satunya dengan memanfaatkan bioenergi.
Bioenergi disebutkan telah memainkan peran krusial untuk mencapai NZE serta mengurangi emisi karbon di negeri ini.
Berkaca pada data 2023, Direktorat Jenderal EBTKE mencatat bioenergi telah berkontribusi sebesar 7,7 persen dari bauran energi nasional yang mencapai 13,2 persen di tahun tersebut.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024