Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi III DPR, Almuzzammil Yusuf, mengatakan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam melakukan Judicial Review terhadap suatu UU perlu dibatasi. "UU No.24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi perlu direvisi, khususnya pada pasal 10 perlu dibatasi kewenangannya," katanya di Jakarta, Rabu. Politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengusulkan agar pengujian UU terhadap UUD 1945 hanya bisa dilakukan MK terhadap pasal-pasal dalam UU yang diputuskan secara voting dan didukung kurang dari 2/3 fraksi-fraksi di DPR. Sedangkan untuk pasal-pasal yang disetujui secara aklamasi dan didukung mayoritas 2/3 atau lebih fraksi, tidak boleh dilakukan Judicial Review. "Hal ini penting agar jangan sampai semua produk hukum yang dihasilkan pemerintah dan DPR yang beranggota 550 orang, bisa dibatalkan dengan mudah oleh voting dari minimal 5 dari 9 orang anggota MK," kata Almuzzammil. Ia menilai Judicial Review yang dilakukan MK akhir-akhir ini, terutama terhadap UU No.22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (KY), yang menyatakan bahwa wewenang pengawasan KY terhadap perilaku hakim yang dimaksud UU KY pasal 20 dinyatakan bersifat tidak mengikat, sungguh merupakan keputusan yang terasa sangat kontroversial. Karena, katanya, hal itu terasa mengamputasi amanat dari UUD 45 pada pasal 24B ayat 1 yang menyatakan bahwa KY memiliki "....wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim". Dengan Keputusan MK, lanjutnya, maka wewenang lain KY dalam UUD 45 terasa tumpul bahkan lumpuh. Ini merupakan isyarat bahaya MK akan menjadi lembaga yang kewenangannya menjadi tidak terbatas. Terlebih ketika MK juga memutuskan hal yang tidak diminta pemohon Judicial Review dalam kasus UU KY tersebut. Selain itu, katanya, Komisi III DPR juga harus segera melakukan revisi dan sinkronisasi berbagai UU yang terkait dengan UU KY, seperti UU MK, MA, Kekuasan Kehakiman, Peradilan Umum, PTUN, Peradilan Agama dan Peradilan Militer. Hal itu perlu dilakukan agar tidak terjadi konflik kewenangan pengawasan hakim, yang hanya akan melemahkan fungsi pengawasan. "Ini adalah kerja besar dan monumental DPR khususnya Komisi III, sebagai jawaban atas amanat UUD 45 pasal 24B ayat 1," katanya. Meski demikian, katanya, hikmah positif di balik kontroversi Judicial Review MK terhadap UU KY adalah mem-"blow up" kesadaran politik publik akan lemahnya pengawasan terhadap para hakim, termasuk hakim agung dan Hakim Kostitusi. "Ini pendidikan politik yang baik untuk masyarakat. Itu adalah salah satu hasil baik kerja KY dalam 1 tahun terakhir, untuk menghidupkan ruh "chek and balances" yang merupakan semangat reformasi dan amandemen UUD 45," katanya. Untuk memperkuat hal ini, lanjut Almuzzammil, KY perlu terus mengekspos kasus-kasus faktual tentang potensi-potensi pelanggaran para hakim dalam pengambilan keputusan sebagaimana yang selama ini berlangsung, yang membuktikan perlunya kewenangan KY untuk hal tersebut. (*)
Copyright © ANTARA 2006