Ramallah (ANTARA) - Kementerian Kesehatan Palestina yang berbasis di Ramallah menjelaskan pihaknya berkolaborasi dengan sejumlah organisasi internasional untuk bekerja selama beberapa pekan terakhir guna mengembangkan rencana komprehensif untuk kampanye vaksinasi polio yang diperluas di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

"Agresi" Israel yang sedang berlangsung di Gaza menyebabkan bencana kesehatan di daerah kantong tersebut, jelas kementerian itu pada Jumat (16/8).

Pemerintah di Jalur Gaza melaporkan kasus infeksi virus polio pertama dalam 25 tahun saat daerah kantong tersebut masih terjebak dalam konflik berkepanjangan.

Kementerian yang berbasis di Ramallah mengatakan seorang anak berusia 10 bulan di Deir al-Balah, Gaza tengah, teruji positif tipe virus polio yang berasal dari vaksin. Sebelum konflik pecah pada Oktober 2023, daerah kantong itu telah bebas polio selama 25 tahun, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Anak tersebut, yang belum pernah menerima vaksinasi polio, menunjukkan gejala yang dicurigai dokter sebagai penyakit polio. Setelah dilakukan tes di Yordania, infeksi tersebut dikonfirmasi sebagai jenis virus polio yang berasal dari vaksin, kata kementerian tersebut.

Sebelumnya pada Jumat, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan mereka berencana meluncurkan kampanye dua tahap untuk memvaksinasi lebih dari 640.000 anak di Gaza yang berusia di bawah 10 tahun mulai akhir Agustus.

WHO telah menyetujui penyediaan 1,6 juta dosis vaksin polio dan Dana Anak-Anak PBB (UNICEF) mengoordinasikan upaya pengiriman serta peralatan rantai dingin yang diperlukan untuk penyimpanan vaksin tersebut, kata PBB.

Sementara itu, Hamas dalam sebuah pernyataan mengungkapkan bahwa mereka mendukung seruan PBB pada Jumat untuk jeda kemanusiaan selama tujuh hari untuk memvaksinasi ribuan anak-anak guna mencegah polio, dan menuntut pengiriman obat-obatan serta makanan bagi lebih dari dua juta warga Palestina yang terperangkap di daerah kantong tersebut.

Statistik PBB menunjukkan bahwa Gaza memiliki cakupan vaksinasi hingga 99 persen sebelum konflik meletus pada Oktober 2023 lalu. Angka tersebut kini turun menjadi 86 persen akibat runtuhnya sistem kesehatan, kurangnya keamanan, kerusakan infrastruktur, pengungsian massal, dan kelangkaan pasokan medis.
 

Pewarta: Xinhua
Editor: Citro Atmoko
Copyright © ANTARA 2024