Pemerintah harus peduli pada keselamatan dan perlindungan tenaga kerja kita di luar negeri

Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah calon anggota legislatif perempuan mendesak pemerintah dan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) untuk membebaskan Satinah dari hukuman mati di Arab Saudi, serta memperbaiki penyiapan calon pekerja yang akan ditempatkan di luar negeri.

"Satinah dan warga negara Indonesia yang senasib dengannya juga banyak. Mereka harus dilindungi negara," kata calon anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta dari Partai Gerindra, Devira Editha, Sabtu, menanggapi nasib warga Ungaran, Jawa Tengah itu.

Caleg Dapil 10 kelahiran 1988 ini mengatakan pengumpulan dana untuk membayar diat atau "uang darah" untuk menyelamatkan Satinah patut dihargai, namun pemerintah juga penting melindungi 249 warga Indonesia lain yang juga terancam hukuman mati.

Pendapat senada juga disampaikan Indah Kurniawigati, caleg perempuan Partai Gerakan Indonesia Raya yang juga bertarung di Dapil 10 Jakarta Barat untuk memperebutkan kursi DPRD.

Menurut Indah, pemerintah tidak hanya dituntut untuk menyiapkan balai-balai latihan kerja yang layak di berbagai daerah kantong pekerja migran di seluruh Tanah Air, tetapi juga memastikan PJTKI yang beroperasi legal dan profesional.

"Dengan demikian PJTKI juga bertanggung jawab sebelum dan sesudah ada kasus seperti Satinah. Para pekerja kita harus lulus pelatihan dan memiliki standar. Perlu ada program sertifikasi berbiaya murah bagi para calon pekerja migran kita," katanya.

Alat ukur kesiapan para calon pekerja migran Indonesia itu antara lain meliputi kemampuan berbahasa, penguasaan teknis pekerjaan, pemahaman tentang budaya, kebiasaan dan hukum negara tujuan, serta mentalitas yang tercermin dari kematangan umur, katanya.

Tati Yulaesih, caleg Partai Gerindra dari Dapil V DKI Jakarta, berpendapat penyelamatan nyawa Satinah binti Jumadi Ahmad Rabin (40) itu sudah menyangkut harga diri bangsa dan dia merupakan bagian dari "pahlawan devisa".

Para pekerja migran Indonesia, termasuk Satinah, selama ini sudah menyumbang devisa melalui remitansi atau uang kiriman ke Tanah Air yang nilainya, menurut laporan media, mencapai Rp88,6 triliun pada 2013, katanya.

"Terlepas dari benar atau salah, pemerintah harus peduli pada keselamatan dan perlindungan tenaga kerja kita di luar negeri," katanya.

Namun caleg perempuan kelahiran Jakarta berusia 46 tahun ini tidak setuju dengan nilai diat atau uang tebusan sebesar Rp21,5 miliar yang dituntut keluarga ahli waris korban Nurah binti Muhammad Al Gharib, majikan yang dibunuh Satinah.

"Nilai diat yang diminta itu seperti memeras bangsa Indonesia karena keluarga Satinah tidak bisa berbuat apa-apa dengan tuntutan sebesar itu. Ini sama dengan mencekik leher," katanya.

Satinah divonis bersalah oleh Pengadilan Buraidah, Arab Saudi, pada 2011 karena mengaku membunuh majikannya, Nurah binti Muhammad Al Gharib (70), dan mengambil uang milik korban senilai 37.970 riyal (sekitar Rp119 juta).

Sejak itu, dia dipenjara dan akan dieskekusi pada 3 April 2014 jika nilai diat yang diminta gagal dipenuhi.

Menanggapi kasus ini, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Gatot Abdullah Mansyur mengatakan pihaknya berupaya menangguhkan "vonis qishas" atas Satinah.

"Insya Allah sesuai deal (kesepakatan) terakhir dengan ahli waris korban dengan kami di Riyadh. Asal ada satu juta Riyal saja untuk menggenapi menjadi lima juta Riyal dan bisa diserahkan kepada keluarga korban, maka vonis qishas bisa diperpanjang dua tahun lagi," katanya dalam pernyataan persnya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun sudah mengutus mantan Menteri Agama Maftuh Basyuni untuk menyampaikan surat bagi Raja Abdullah terkait kasus Satinah.


Pewarta: Rahmad Nasution
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2014