Jakarta (ANTARA) - Tersiarnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 ke seluruh dunia tak bisa dilepaskan dari peran sejumlah tokoh pemuda hingga peran awak Kantor Berita ANTARA yang tatkala Tanah Air diduduki Jepang bernama Domei.

Dari sederet nama yang tercatat memiliki peranan penting dalam penyebarluasan peristiwa bersejarah itu, ada nama antara lain Adam Malik, Waidan B. Palenewen, Pangulu Lubis, dan Muchtar Lubis.

Waidan B. Palenewen masuk Domei pada tahun 1942 menjadi Kepala Bagian Radio dan bertanggung jawab atas pemberitaan pernyataan Kemerdekaan Indonesia. Domei atau Domei Tsushinsha, merupakan kantor berita milik kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II yang berada di bawah kendali Kementerian Komunikasi dan Perang Jepang.

Sementara itu, sastrawan dan budayawan Mochtar Lubis yang bekerja di radio khusus tentara Jepang pada 10 Agustus 1945 meminta Waidan B. Palenewen untuk menugaskan empat markonis (operator radio serta alat komunikasi) di tempat pemantauan berita tentara Jepang dengan catatan mereka tidak boleh pulang.

Permintaan ini dia sampaikan pada Waidan B. Palenewen sehari sesudah bom atom dijatuhkan di Nagasaki, Jepang yakni pada 9 Agustus 1945 yang menewaskan sekitar 70.000 orang. Mochtar Lubis sendiri masuk ANTARA pada awal 1946 dan menjadi Pemimpin ANTARA Cabang Jakarta.

Merujuk buku "Catatan Politik Pengalaman Wartawan ANTARA" oleh Ismet Rauf dan Saleh Danny Adam pada tahun 2002, rencana penyebarluasan Proklamasi Indonesia ke seluruh dunia dipimpin oleh Adam Malik yang mendiktekan naskah proklamasi dari tempat persembunyiannya karena dikejar-kejar tentara Jepang.

Adam Malik dibantu Pangulu Lubis, satu-satunya orang ANTARA yang diminta bersiap-siap menyebarkan berita Proklamasi dengan mengatakan “bersiap-siap menyiarkan sebuah berita penting”.

Setelah teks Proklamasi dibacakan Soekarno, Adam Malik menelpon ANTARA, diterima oleh Asa Bafagih yang diminta untuk menyampaikannya kepada Pangulu Lubis dengan berpesan “Jangan sampai gagal”.

Pangulu mengirimkan naskah ke bagian radio dengan menyelipkannya dalam morse-cast Domei, di antara berita-berita yang telah dibubuhi izin Hodokan (lembaga sensor pemerintah pendudukan Jepang). Adam Malik meminta para markonis untuk menyiarkan berita Proklamasi tanpa harus meminta izin Hodokan.

Markonis Soegirin menjaga agar teks Proklamasi itu tersiar dan Markonis Wua yang mengirimkannya. Maka menyebarlah berita Proklamasi Indonesia ke daerah dan internasional.

Berita Proklamasi dari Kantor Berita Domei Jakarta disiarkan dengan sandi morse akhirnya sampai di Kantor Berita Domei di Surabaya. Penulis Ady Setyawan melalui buku "Surabaya di mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu" yang terbit tahun 2019 menyebutkan teks morse proklamasi diterima dua markonis yakni Jacob dan Sumadi atau Soewardi.
Naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta. ANTARA/Lia Wanadriani Santosa


Pakar sejarah Jaka Perbawa mengakui peran penting para jurnalis termasuk pejuang radio dalam menyiarkan kabar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Mereka memanfaatkan fasilitas di tempatnya bekerja secara diam-diam. Hal ini dilakukan karena mengetahui pimpinan kantor berita saat melarang penyebarluasan berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

"Namun, karena mereka semangat juang, punya semangat patriotisme, seperti Yusuf Ronodipuro misalkan sampai disiksa Jepang karena berani menyiarkan. Itu sebuah risiko yang mereka ambil. Yang penting berita harus sampai ke manapun," jelas dia yang juga Kurator Museum Perumusan Naskah Proklamasi yang berada di bawah naungan Indonesian Heritage Agency (IHA) atau Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi itu.

Di lain sisi, kiprah ANTARA bukan hanya menyebarluaskan berita dalam cakupan nasional melainkan juga internasional. Kantor berita di seluruh dunia internasional mengambil sari berita terkait Indonesia dari ANTARA.

"Apalagi saat itu pascaperang dunia II pasti ada riak-riak di setiap negara yang dijajah. Peran kantor berita bukan saja di wilayah cakupan nasional, tetapi ke dunia internasional pun sangat bermanfaat, sangat berjasa besar," ujar Jaka.

Penyebarluasan peristiwa bersejarah di Jakarta pada 17 Agustus 1945 ke seluruh negeri, juga tak bisa dilepaskan dari para penyebar berita. Jaka menyebut mereka ini menyebarkan berita Kemerdekaan Indonesia melalui beragam cara.

Ada sebagian tokoh atau pemuda yang hadir pada 17 Agustus 1945 pulang ke kampung halamannya dengan mengemban misi menyebarkan berita proklamasi.

Di Semarang, Jawa Tengah, berita tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diselipkan khatib saat shalat Jumat. Peristiwa pembacaan naskah proklamasi sendiri berlangsung pada hari Jumat, sekitar pukul 10.00 atau menjelang shalat Jumat.

"Di Masjid Agung Semarang saat itu berita tentang proklamasi diselipkan khatib saat shalat Jumat," ujar Jaka.

Di Jawa, kabar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia bisa tersiar dalam hitungan jam. Tetapi lain cerita di luar Jawa. Jaka tanpa menyebut secara spesifik, mencatat ada wilayah di Tanah Air yang baru menerima berita pada September atau bahkan Oktober.

Itu pun, harus kucing-kucingan dengan tentara Jepang. Bila di Jawa sebagai pusat kekuasaan, Jepang sudah menyerah kalah. Namun berbeda dengan di luar Jawa, Tentara Jepang di wilayah luar Jawa masih kuat, sehingga berita proklamasi baik itu melalui kurir, berita radio, maupun koran disetop oleh pemerintah lokal Jepang di sana.

Hari ini, tepat 79 tahun sejak peristiwa bersejarah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta Pusat terjadi. Mengutip pernyataan Penanggung Jawab Unit (PJU) Museum Perumusan Naskah Proklamasi Vincentius Agus Sulistya, saat itu mereka yang hadir diliputi perasaan harap-harap cemas karena dibayangi kekuatan tentara Jepang.

Peristiwa itu pun tersebar antara lain melalui tangan-tangan awak media, termasuk ANTARA. Kepada kantor berita yang tahun ini memasuki usia 87 tahun, ada pesan dari Jaka agar khususnya pada Agustus ini dapat menyajikan berita-berita yang menggugah generasi saat ini untuk cinta bangsanya.

Ini demi mereka paham bahwa merekalah yang akan melanggengkan keberadaan bangsa Indonesia ini, 100 tahun atau bahkan 1000 tahun ke depan, demikian pesan Jaka.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024