Dalam 24 jam terakhir, militer Israel menewaskan 40 orang dan melukai 107 lainnya, sehingga total korban tewas menjadi 40.005 orang dan korban luka-luka mencapai 92.401 orang sejak konflik Palestina-Israel pecah pada awal Oktober 2023, demikian ungkap otoritas kesehatan yang berbasis di Gaza pada Kamis dalam sebuah pernyataan.
Masih banyak korban yang terperangkap di bawah reruntuhan dan di jalan-jalan, sedangkan kru pertahanan sipil dan ambulans tidak dapat menjangkau mereka, tambah otoritas tersebut.
Hanya dalam waktu lima setengah bulan, jumlah warga Palestina yang tewas di Jalur Gaza meningkat dari 30.000 menjadi 40.000 orang.
Serangan besar-besaran Israel terus berlanjut selama sebulan terakhir. Menurut otoritas kesehatan Gaza, aksi pengeboman Israel terhadap sebuah rumah sakit lapangan di Deir al-Balah, Jalur Gaza tengah, pada 27 Juli telah mengakibatkan sedikitnya 30 warga Palestina tewas dan lebih dari 100 orang terluka.
Pada 10 Agustus, aksi pengeboman Israel lainnya menargetkan sebuah sekolah di Gaza City, menewaskan lebih dari 100 warga Palestina dan melukai puluhan lainnya, ungkap otoritas itu.
Sejak 4 Juli, Kantor Hak Asasi Manusia PBB telah mencatat 21 serangan terhadap sekolah-sekolah yang berfungsi sebagai tempat penampungan di Jalur Gaza, yang mengakibatkan sedikitnya 274 orang tewas, termasuk perempuan dan anak-anak, papar laporan tersebut.
Pasukan Pertahanan Israel (Israel Defense Forces/IDF) mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Kamis bahwa pihaknya melanjutkan aktivitas operasional di Jalur Gaza, melenyapkan teroris dan membongkar infrastruktur teroris.
Dalam sehari terakhir, Angkatan Udara Israel membongkar lebih dari 30 lokasi infrastruktur Hamas, termasuk bangunan yang dipasangi bahan peledak, infrastruktur bawah tanah, dan fasilitas penyimpanan senjata, tambah IDF.
Israel melancarkan agresi skala besar terhadap Hamas di Jalur Gaza untuk membalas serangan Hamas di perbatasan Israel bagian selatan pada 7 Oktober 2023, yang menyebabkan kurang lebih 1.200 orang tewas dan sekitar 250 orang disandera.
Konflik Hamas-Israel yang berkepanjangan telah membuat daerah kantong pesisir yang terkepung itu tidak layak dihuni. Sekitar 305 kilometer persegi, atau hampir 84 persen wilayah di Jalur Gaza, berada di bawah perintah evakuasi oleh militer Israel, sebut laporan terbaru yang dirilis oleh Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA) pada Senin (12/8).
Sejak 4 Juli, Kantor Hak Asasi Manusia PBB telah mencatat 21 serangan terhadap sekolah-sekolah yang berfungsi sebagai tempat penampungan di Jalur Gaza, yang mengakibatkan sedikitnya 274 orang tewas, termasuk perempuan dan anak-anak, papar laporan tersebut
Perempuan dan anak perempuan sering kali sampai berbulan-bulan tidak mandi, melewati beberapa siklus menstruasi tanpa membersihkan diri, ujar Komisaris Jenderal Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) Philippe Lazzarini di platform media sosial X pada Kamis.
Mereka harus memangkas rambut menjadi sangat pendek karena kutu, kelangkaan sampo, serta ketidakcukupan air atau sisir, dan banyak pula di antara mereka yang mengatakan merasa tidak aman, tidak memiliki privasi atau harga diri di tempat penampungan dan lokasi pengungsian yang penuh sesak, papar Lazzarini.
Meski banyak orang menggantungkan harapan mereka pada perundingan gencatan senjata pada Kamis di Doha, ketidakpastian masih membayangi.
Suhail Hindi, anggota Biro Politik Hamas, pada Rabu (14/8) mengumumkan bahwa kelompok tersebut tidak akan berpartisipasi dalam gencatan senjata.
Hindi mengatakan Hamas membutuhkan komitmen yang jelas dari Israel untuk mematuhi perjanjian yang telah dibuat pada 2 Juli, berdasarkan usulan gencatan senjata dari Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, seraya menambahkan bahwa Hamas siap mengimplementasikan perjanjian itu jika ada komitmen dari Israel.
Pada Minggu (11/8), Hamas menuntut agar mediator gencatan senjata mengemukakan rencana implementasi usulan itu, alih-alih "menggelar lebih banyak putaran negosiasi atau menyampaikan usulan-usulan baru yang memberikan kedok bagi agresi pendudukan."
"Hidup ini tragis. Orang-orang berupaya beradaptasi, tetapi tidak ada optimisme bahwa penderitaan ini akan segera berakhir. Sejujurnya, kami melakukan segala yang kami bisa untuk bertahan hidup dan beradaptasi, tetapi kehancuran dan kematian yang terjadi di mana-mana menghalangi kami untuk melakukannya," kata Mohammed Hammad, seorang warga Palestina yang tinggal di Deir al-Balah, kepada Xinhua pada Rabu.
"Kami berharap akan mendengar kabar baik setelah pertemuan yang digelar di Doha, tetapi pada saat yang sama, saya khawatir upaya gencatan senjata akan gagal, terutama karena perang sudah hampir setahun," imbuh Hammad.
Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2024