Baghdad (ANTARA) - Reem Mohammed Abu Taha duduk di tempat tidurnya di rumah sakit dengan air mata berlinang di kedua matanya saat menyaksikan berita di televisi, yang dipenuhi peristiwa pengeboman tanpa henti dan jumlah korban tewas yang terus meningkat di Gaza.
"Lebih dari 40.000 warga Palestina yang tidak berdosa tewas. Berapa banyak lagi yang harus mati sebelum perang ini berakhir?" tanyanya dengan nada bergetar.
Abu Taha merupakan warga Khan Younis, sebuah kota yang terletak di Jalur Gaza selatan. Pada Mei, dia beserta tiga anaknya yang selamat termasuk dalam kelompok pertama dari 27 warga Palestina yang terluka dan 42 rekan mereka yang dibawa ke Baghdad untuk menjalani perawatan oleh pemerintah Irak.
Meski jauh dari kampung halaman, hati mereka tetap di Gaza, di mana orang-orang terkasih mereka masih bertahan hidup di tengah ancaman terus-menerus.
Hidup Abu Taha hancur pada pagi hari tanggal 7 Desember 2023. Tanpa peringatan, serangan udara Israel menyasar bangunan lima lantai tempat keluarganya tinggal. Akhirnya, Abu Taha dan tiga anaknya yang selamat dipindahkan ke Mesir untuk menjalani perawatan dan kemudian ke Irak. Suami Abu Taha, yang juga terluka parah, tetap tinggal di Gaza.
"Setiap lantai terdiri dari dua apartemen, dan masing-masing apartemen menampung sekitar 10 orang. Kami semua berada di rumah, tidak menduga, saat rudal-rudal itu menghantam," kenangnya.
Rudal-rudal Israel menghancurkan tempat tinggalnya menjadi puing-puing, merenggut 24 nyawa di dalam rumah tangganya, termasuk putra sulungnya, Mohammed (19).
"Mohammed merupakan anak yang brilian, menempuh studi teknik di Universitas al-Aqsa. Dia memiliki masa depan yang cerah, tetapi nyawanya direnggut di masa-masa terbaiknya," ungkap Abu Taha, sambil mengeluarkan foto Mohammed di ponselnya dengan tangan yang gemetar. Ekspresi senyum yang diabadikan dalam foto itu menjadi memori yang menyakitkan bagi dirinya, yang membeku dalam waktu.
Tiga anak Abu Taha lainnya juga tertimbun di bawah reruntuhan, dan butuh waktu lama untuk menemukan mereka.
Abdul Aziz, putra kedua Abu Taha, berhasil diselamatkan dengan beberapa luka patah tulang pada rahang, tengkorak, dan kakinya. Linan, putri Abu Taha, menderita luka parah di bagian kepala dan mengalami koma selama hampir dua bulan. Yamen, putra bungsu Abu Taha, terjebak di bawah reruntuhan selama sekitar dua hari, menderita beberapa luka patah tulang dan luka bakar. Mengingat tidak ada ambulans yang tersedia, mereka dilarikan ke rumah sakit menggunakan sebuah gerobak keledai.
Akhirnya, Abu Taha dan tiga anaknya yang selamat dipindahkan ke Mesir untuk menjalani perawatan dan kemudian ke Irak. Suami Abu Taha, yang juga terluka parah, tetap tinggal di Gaza.
Lebih dari 10 bulan telah berlalu sejak dimulainya konflik tersebut, dan belum terlihat ada tanda-tanda perdamaian.
Menurut Abu Taha, Amerika Serikat (AS) adalah pihak yang bertanggung jawab. "AS memasok Israel dengan senjata yang tidak ada habisnya, tetapi akhirnya mereka membunuh warga Palestina yang tidak berdosa," tuturnya.
Sejak babak konflik terbaru antara Israel dan Hamas meletus pada 7 Oktober 2023, aksi militer Israel telah merenggut lebih dari 40.000 nyawa warga Palestina dan melukai 92.000 lebih lainnya.
Gaza saat ini berada dalam cengkeraman krisis kemanusiaan yang parah, dengan jutaan orang mengungsi dan berbagai kebutuhan pokok seperti makanan, obat-obatan, dan air bersih mengalami kelangkaan yang parah. Pada Juli, sejumlah pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa kelaparan telah menyebar di seluruh Jalur Gaza.
"Akibat aksi pengeboman dan blokade Israel, fasilitas-fasilitas medis di Gaza menjadi sangat tidak memadai, dengan kelangkaan obat bius, obat-obatan, dan peralatan yang parah. Banyak warga yang terluka harus menjalani amputasi tanpa obat bius," ungkap Abu Taha.
"Sebelum 7 Oktober tahun lalu, hidup terasa bahagia dan layak. Setiap hari, saya akan memasak dan menunggu anak-anak saya pulang sekolah, suami saya pulang kerja. Kami memiliki harapan. Namun kini, semuanya telah hancur, rumah kami, masjid kami, sekolah kami," ratapnya.
"Gaza saat ini seperti 'kota hantu'. Orang-orang dipaksa untuk terus bergerak, tetapi di mana mereka dapat menemukan tempat yang aman? Bahkan kamp pengungsi, sekolah, dan rumah sakit tidak luput dari pengeboman Israel," ujarnya dengan nada marah yang bercampur dengan keputusasaan.
"Perang berati kehancuran, kematian, rasa sakit, dan perpisahan," kata Abu Taha, sembari menyeka air matanya dengan tisu yang diberikan oleh putrinya. "Hal itu merenggut putra tersayang saya, dan menghancurkan keluarga saya. Puluhan ribu warga Palestina telah lenyap dari planet ini selamanya."
Kendati demikian, Abu Taha tetap berharap suatu hari dirinya dapat pulang ke Gaza. "Harapan terbesar saya adalah perang ini berakhir, dan berakhir sepenuhnya. Saat hal itu terjadi, kami akan kembali ke Gaza untuk membangun kembali rumah kami dan memulai hidup baru," kata Abu Taha.
Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2024