Jakarta (ANTARA News) - Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni) pada Jumat siang (27/3) menggelar debat tokoh nasional yang berlangsung di Aula Fakultas Kedokteran Gigi.
Para tokoh nasional hadir dalam debat nasional di antaranya, Gubernur Jawa Timur yang juga Politisi Partai Demokrat Soekarwo, Mantan Kepala Staf Angkatan Darat Ryamizard Ryacudu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah sekaligus peserta konvensi calon presiden Partai Demokrat Irman Gusman.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang kini juga tengah berupaya menjadi calon presiden Mahfud MD dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat sekaligus juga peserta konvensi Partai Demokrat Marzuki Alie dan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang tiba sekitar 1 jam setelah acara dibuka pukul 13.30 WIB.
Dalam kesempatan tersebut, mantan Politisi PDIP yang juga pakar hukum laut dari Universitas Diponegoro Dimyati Hartono, Anggota Badan Pemeriksan Keuangan Rizal Djalil dan Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia Sri Edhi Swasono memberikan pengantar sebelum acara dimulai.
Acara tersebut dimoderatori oleh Pakar Komunikasi Effendi Gazali dan Direktur Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk.
Isu kaji ulang UUD 1945 mengawali debat siang itu. Moderator menyatakan, saat ini peran dan fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam amandemen UUD 1945 dinilai lemah.
Moderator mengemukakan MPR hanya kumpulan DPD dan DPR, sementara fungsi seperti menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) seperti pada UUD 1945 awal tidak dipunyai.
Irman Gusman yang mengawali penyampaian visinya menyatakan, dirinya tidak sepakat bila kemudian alasan peran dan fungsi MPR yang tidak seperti sebelumnya, harus mengembalikan UUD 1945 ke sebelum amandemen.
Menurut dia sejumlah hal yang kurang seperti peran dan fungsi MPR dapat disempurnakan, namun bukan berarti harus kembali ke UUD 1945 awal, sebab amandemen yang dilaksanakan saat ini juga memuat sejumlah kebaikan seperti pembatasan masa jabatan presiden.
"Kalau kembali ke 1945 kita setback, balik lagi, tidak maju, tapi kalau disempurnakan berarti kita maju lagi," katanya.
Ia menilai sejumlah isu seperti peran dan fungsi MPR ke depan bisa saja diadopsi lebih lanjut dalam aturan yang dibuat di masa depan.
Hal senada diungkapkan oleh Mahfud MD, Marzuki Alie dan Soekarwo. Mereka menilai, penyempurnaan UUD 1945 akan lebih baik daripada mengembalikan ke masa lalu.
Terkait peran dan fungsi MPR dalam menetapkan GBHN, menurut Mahfud, hal itu sebenarnya bukan masalah substansi untuk dimasukan dalam UUD 1945. GBHN menurut dia, secara substansi sebenarnya telah diakomodir dalam undang-undang.
Marzuki Alie menilai fungsi menetapkan GBHN oleh MPR tidak diperlukan, mengingat hal itu juga telah disiapkan melalui rencana pembangunan jangka panjang.
Selain itu pemerintah juga telah mentapkan rencana pembangunan jangka menengah nasional.
"GBHN sama dengan RPJP (rencana Pembangunan Jangka Panjang), RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) masalahnya hanya implementasi, bagaimana taat azaz, dan itu sinergi dari atas sampai bawah. Persoalan kita antara pemerintah pusat dan pemda tidak sinergi, apa yag dikerjakan pemerintah pusat belum tentu didukung oleh pemda. Ini perlu dibuat aturan sebagai pelengkap perundangan".
Soekarwo menilai, peran dan fungsi MPR tersebut dapat dijabarkan secara fungsional, namun bukan dilekatkan sebagai lembaga tertinggi negara seperti pada sebelumnya.
Sementara Ryamizard menilai, kaji ulang ke UUD 1945 yang asli bisa saja dilakukan.
"Kalau kaji ulang, oleh anak bangsa sendiri itu boleh saja, tetapi kalau orang asing ikutan itu tanda tanya bagi kita".
Pilkada Langsung
Isu pemilihan kepala daerah menjadi agenda kedua dalam debat tersebut. Iluni menyatakan hasil pengamatan dan pertimbangannya, sistem pilkada langsung telah menimbulkan persaingan kekuatan politik antara pemerintah daerah dan pusat, untuk itu gubernur sebaiknya ditunjuk oleh Presiden.
Mahfud MD menilai pemilu kepala daerah langsung yang saat ini digunakan lebih banyak kerugiannya (mudharatnya) daripada manfaatnya.
Ia sepakat bila pemilihan kepala daerah dikembalikan kembali ke Dewan Perwakilan Rakayat Daerah (DPRD).
Ia mengatakan berdasarkan pengalaman yang ia rasakan, pilkada langsung telah membuat rakyat menjadi terbelah, konflik, dan merusak moralitas dengan politik uang.
Selain itu, lanjutnya, juga banyak kepala daerah yang terjerat korupsi karena biaya politik yang sangat mahal.
Hal senada juga dikatakan oleh Ryamizard. "Saya setuju dengan Pak Mahfud, kita lihat sekarang ini timbul raja-raja kecil, hampir sepertinya para bupati tidak loyal pada gubernur, kalau sudah tidak loyal ya rencana pembangunan itu susah," katanya.
Sementara Marzuki Alie menilai untuk tingkat provinsi, sebaiknya gubernur ditunjuk oleh presiden, karena kepanjangan tangan dari pemrintah pusat dan bersifat koordinatif.
Untuk kabupaten dan kota, tetap diperlukan pemilihan kepala daerah secara langsung.
"Hal ini dibutuhkan karena kalau dikembalikan ke DPRD kepedulian terhadap kepala daerah dan rakyat itu kurang," katanya.
Gubernur Soekarwo menilai, persoalan yang seringkali terjadi karena demokrasi langsung tersebut diterapkan tanpa melalui pendekatan sosiologis dan kultural.
"Sehingga ada gap antara ideal demokrasi dan praktik demokrasi," katanya.
Ia menyarankan agar tidak semua daerah dipukul rata dengan menggunakan pemilihan kepala daerah langsung.
Sementara Irman Gusman berbeda dengan padangan para politisi lainnya. "Saya tetap melihat pemilihan langsung merupakan yang terbaik," katanya.
Ia mengingatkan saat ini baru 10 tahun pilkada langsung diterapkan sejak 2014. Dengan penerapan demokrasi langsung, cepat atau lambat, masyarakat akan belajar.
Di sisi lain, pilkada langsung menjamin hak politik rakyat, serta mendorong kepedulian para pemimpin untuk mendekat kepada rakyat.
Menurut dia, yang dibutuhkan adalah pemisahan antara pemilu lokal dan pemilu nasional. Pemilihan gubernur, bupati/wali kota dan DPRD dipisah dengan DPR dan pemilihan presiden.
"Dengan demikian akan menjamin juga isu-isu lokal dominan dalam pemilu di tingkat lokal tersebut. Sekarang inikan tenggelam, hilang oleh kampanye nasional, padahal para DPRD itukan mewakili di daerah," katanya.
Pemberantasan Korupsi
Dalam pemberantasan korupsi Iluni mendeklarasikan kebijakan hukum dan politik pemberantasan koruspi secara menyeluruh dengan menghukum berat para pelakunya, mencabut hak politiknya, menyita harta untuk negara, dan menetapkan korupsi sebagai teroris terhadap rakyat, negara dana bangsa.
Hal inipun ditanggapi oleh para panelis. Mahfud MD sepakat, korupsi saat ini perlu diberantas dengan tegas.
Menurut dia, korupsi saat ini lebih merupakan karena ketamakan manusia.
Marzuki menilai perlu dihukum keras, namun menolak hukuman mati.
"Misalnya dibuang ke suatu pulau kecil diminta beternak dan bercocok tanam untuk menghidupi dirinya," katanya.
Ia pun menilai bahwa hukuman tanpa upaya pencegahan juga tidak akan menyelesaikan masalah.
Sementara itu Irman Gusman menilai, korupsi sebagai salah pengelolaan keuangan negara.
Menurut dia, hukuman keras yang dilaksanakan tidak akan mengubah keadaan tanpa adanya penyelesaian akar masalah.
Dirinya menilai, pencegahan terhadap korupsi juga harus diperkuat. Diantaranya dengan menggunakan nomor identitas tunggal, transparansi keuangan dan keterbukaan.
"Sulit memberantas korupsi tanpa dibangun sistem yang baik," katanya.
Pembicara lainnya, Jusuf Kalla, mengemukakan "korupsi dibmanapun tidak bisa 100 persen diberantas, tapi kita harus menciptakan peberantasan yang tidak menimbulkan efek berlebihan lainnya yaitu ketakutan yang berlebihan," katanya.
Ia mengatakan akibat dampak berlebihan dari efek pemberantasan korupsi membuat banyak pejabat ketakutan dalam mengambil keputusan. Hal itu membuat pemerintahan juga sulit berjalan.
"Kalau pemerintahan mandeg, berhenti, malah lebih mengerikan. Intinya pemberantasan korupsi di satu sisi juga jangan sampai membuat pemerintahan berhenti dan takut mengambil kebijakan," katanya.
Oleh Muhammad Arief Iskandar
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014