Jakarta (ANTARA) - Jika mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia, sokoguru berarti 'tiang tengah' atau 'tonggak'. Saka guru atau soko guru dalam bahasa Jawa, adalah empat tiang utama yang menyangga bangunan Jawa tertentu, misalnya pendopo, rumah adat, dan masjid.

Soko guru tidak hanya dimaknai sebagai penopang struktur bangunan, tetapi memiliki makna simbolis tertentu sehingga menarik untuk dikaji.

Proklamator Bangsa, Bung Karno, menyebut petani itu sokoguru revolusi sejak zaman perjuangan kemerdekaan.

Petani dengan senjata bambu runcing bersama komponen bangsa lain, ikut berjuang memerdekakan bangsa. Dengan gagah berani petani ikut berjuang habis-habisan untuk mengusir penjajah, walau harus mengorbankan nyawa dan kehidupannya.

Kegigihan seluruh komponen bangsa, termasuk di dalamnya para petani berujung dengan diproklamasikannya bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1945.

Sejak waktu itulah Indonesia berhak menyebut diri sebagai bangsa yang merdeka, bebas dari penjajahan fisik bangsa lain. Bangsa ini pun mampu merebut kemerdekaan dengan pengorbanan darah segenap anak bangsa.

Kini, sudah 79 tahun Indonesia merdeka. Setelah melewati Orde Lama dan Orde Baru, sekarang bangsa ini tengah mengarungi Orde Reformasi. Para pejuang reformasi sepakat Indonesia harus lebih baik dibanding Orde-Orde sebelumnya. Reformasi adalah saat yang tepat untuk memperbaiki kegagalan dan menyempurnakan program Orde-Orde sebelumnya.

Reformasi adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara.

Adapun asal kata reformasi sendiri tersusun atas dua kata, yakni re yang berarti kembali, dan formasi berarti susunan. Maka era reformasi dapat dikatakan sebagai era yang menyusun kembali. Perihal yang disusun kembali dalam era ini adalah sistem pemerintahan Negara Indonesia.

Di bidang pembangunan petani, era reformasi perlu adanya kebijakan yang tegas dan jelas tentang langkah nyata untuk meningkatkan taraf hidup petani agar lebih baik dan sejahtera.

Petani tidak boleh lagi terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan ekstrem melainkan sejahtera secara merata. Petani mesti betul-betul hidup merdeka, makmur, dan bahagia.

Jika semasa Orde Lama dan Orde Baru, yang namanya petani seolah-olah terpinggirkan dari panggung pembangunan, maka di ea reformasi, petani harus tampil sebagai sokoguru reformasi.

Keprihatinan petani, secepatnya mesti diganti dengan ketidak-prihatinan. Petani penting untuk berdiri tegak di atas lahan pertaniannya sendiri dan mandiri. Itulah hakekat petani bermartabat.

Era reformasi merupakan peluang terbaik untuk menawarkan ide dan gagasan tentang pembangunan petani yang lebih berkualitas.

Sebagai contoh, kalau pemerintah berkeyakinan, naiknya produksi akan dapat meningkatkan penghasilan petani sehingga kesejahteraannya semakin membaik, maka Pemerintah perlu mengendalikan harga yang menguntungkan petani.

Hal ini penting disampaikan, karena pengalaman menunjukkan, ketika panen raya berlangsung, harga jual gabah di tingkat petani menjadi anjlok. Jadi, boro-boro akan meningkatkan penghasilan petani, produksi yang meningkat tapi harganya jatuh, jelas akan merugikan petani. Inilah alasannya, mengapa pemerintah perlu mengendalikan harga di saat panen raya berlangsung.

Pemerintahan Baru

Jika salah satu program prioritas Prabowo dan Gibran adalah mencapai swasembada pangan, energi dan air, khusus untuk swasembada pangan, sangat membutuhkan keterlibatan petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian. Sebagai pelaku utama, petani mesti diperankan secara optimal dalam menggenjot produksi setinggi-tingginya.

Hanya patut dicatat, agar petani mampu maksimal dalam usahanya meningkatkan produksi dan produktivitas hasil pertanian, sangat dituntut adanya keberpihakan nyata pemerintah terhadap sektor pertanian.

Artinya, menjadi sangat keliru bila di tengah semangat menggenjot produksi, ternyata pagu anggaran Kementerian Pertanian malah dikurangi dengan angka cukup signifikan.

Jadi, cukup logis produksi beras turun dengan angka cukup signifikan, bila pagu anggaran untuk Kementerian Pertanian dikurangi, selain 9 penyebab turunnya produksi lain, sebagaimana diakui Pemerintah.

Sebagai sokoguru reformasi, mestinya petani dapat tampil lebih proaktif lagi, sambil mengajak Pemerintah untuk serius menggarap sektor pertanian.

Jika era reformasi dimulai tahun 1998, sampai detik ini, bangsa Indonesia telah melaluinya sekitar 26 tahun. Selama kurun waktu tersebut, mestinya banyak hal yang diraih.

Jumlah kemiskinan petani semakin berkurang. Kesenjangan semakin menyempit, dan petani pun semakin banyak yang pantas disebut selaku "penikmat pembangunan". Sayang, harapan ini terekam masih belum dapat diwujudkan.

Malah yang terjadi selama periode (2013-2023) jumlah petani gurem makin membengkak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyimpulkan jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) Gurem tercatat sebanyak 16,89 juta.

Dengan kata lain, mengalami kenaikan sebesar 18,49 persen dari catatan jumlah RTUP Gurem pada 2013 yang jumlahnya hanya sebanyak 14,25 juta.

Akhirnya, penting dijadikan percik perenungan bersama. Menjadikan petani dari soko guru revolusi ke arah soko guru reformasi, masih membutuhkan perjuangan panjang untuk mewujudkannya.

Dengan ketekunan Pemerintah selama ini, semua optimistis petani akan mendapat tempat terhormat dalam pentas pembangunan. Saatnya untuk membuktikan bersama-sama.

Dan pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi sangat penting diterapkan untuk mencapai kesejahteraan petani secara berkelanjutan.

Kebijakan dan program juga harus disesuaikan dengan kondisi lokal dan kebutuhan spesifik petani di berbagai daerah.

Sementara partisipasi aktif petani dalam perencanaan dan implementasi program sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan dan keberlanjutan.

Dengan menerapkan strategi-strategi ini secara konsisten dan berkelanjutan, bangsa ini diyakini akan dapat mewujudkan sektor pertanian yang lebih produktif, berkelanjutan, dan berkeadilan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat secara keseluruhan.


*) Penulis adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.
 

Copyright © ANTARA 2024