Washington (ANTARA) - Presiden Amerika Serikat Joe Biden mendukung pemilihan umum baru di Venezuela pada Kamis (15/8) menyusul pemungutan suara 28 Juli yang disengketakan di negara Amerika Latin tersebut.

Biden ketika ditanya wartawan sebelum meninggalkan Gedung Putih apakah dia mendukung pemilihan umum baru di Venezuela, Biden dengan singkat mengatakan: "Ya."

Sebelumnya, Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva pada Kamis juga telah mengusulkan adanya pemilihan umum baru di Venezuela.

Seruan tersebut disampaikan setelah Gedung Putih mengatakan bahwa mereka yakin "melalui beragan cara dan sejumlah sumber" bahwa kandidat oposisi Edmundo Gonzalez memperoleh lebih banyak suara daripada Presiden Nicolas Maduro dan mendesak Maduro untuk merilis data pemilih.

"Fakta bahwa Tuan Maduro tidak akan merilis data tersebut, tentu saja, menurut saya, menunjukkan apa yang menjadi kekhawatiran dia tentang hasil yang akan ditampilkan secara transparan," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional John Kirby.

Otoritas pemilu negara Venezuela menobatkan Presiden Nicolas Maduro sebagai pemenang pemilu, tetapi menahan diri untuk tidak merilis data pemilih di tengah klaim oposisi bahwa kandidat Edmundo Gonzalez adalah pemenang sebenarnya.

Pemimpin oposisi Maria Corina Machado dan Gonzalez, yang bersembunyi dengan alasan keamanan, menyerukan kepada warga Venezuela untuk turun ke jalan pada 17 Agustus untuk menuntut pemerintah mengakui Gonzalez sebagai pemenang pemilu.

Meski Maduro dinyatakan sebagai pemenang pemilu dengan meraih 52 persen suara melawan 43 persen untuk Gonzalez, Dewan Pemilihan Nasional (CNE) belum menerbitkan rincian penghitungan suara, dengan tuduhan peretasan sistem pemungutan suara.

Oposisi mengatakan bahwa menurut lebih dari 80 persen penghitungan suara yang dapat mereka akses, saingan Maduro dalam pemilu yang disengketakan itu menang dengan lebih dari 67 persen suara.

Sebuah panel pakar PBB mengatakan pada Selasa bahwa CNE "tidak memenuhi langkah-langkah dasar transparansi dan integritas yang penting untuk menyelenggarakan pemilu yang kredibel."

Tim pakar yang beranggotakan empat orang, yang dikirim oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, menghabiskan lebih dari satu bulan di Caracas sebagai salah satu dari sedikit pengamat independen yang diundang oleh pemerintah Maduro.

Para pakar dalam laporan sementara mereka mengatakan bahwa proses pengelolaan hasil "tidak mengikuti ketentuan hukum dan peraturan nasional, dan semua tenggat waktu yang ditetapkan terlewati."

"Dalam pengalaman panel, pengumuman hasil pemilu tanpa publikasi rinciannya atau rilis hasil tabulasi kepada kandidat tidak memiliki preseden dalam pemilu demokratis kontemporer," kata para pakar dalam laporan tersebut.

Keraguan tentang transparansi proses pemilu telah menimbulkan protes yang meluas di seluruh negeri yang telah menewaskan 25 orang, sedikitnya 192 orang terluka dan lebih dari 2.000 orang ditangkap.

Maduro telah berjanji untuk menindak demonstrasi dengan "tangan besi."

Presiden Venezuela itu menyalahkan oposisi dan menuduh Gonzalez dan Machado mendorong "kudeta" dan "perang saudara" di negara tersebut.

"Ini bukan pertama kalinya kita menghadapi apa yang kita hadapi saat ini. Ada upaya untuk memaksakan kudeta di Venezuela sekali lagi," kata Maduro.

Baca juga: Brasil, Kolombia usulkan pemilihan ulang untuk Venezuela

Penerjemah: Cindy Frishanti Octavia
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2024