Waktu April lalu, BI-Rate naik 25 bps, tapi suku bunga SRBI-nya naik kalau tidak salah hampir 60 bps. Jadi itu mungkin yang nanti akan berbalik...,
Jakarta (ANTARA) - Chief Economist Citi Indonesia Helmi Arman memproyeksikan tingkat penurunan suku bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) untuk tenor 12 bulan akan lebih besar dibandingkan suku bunga acuan BI atau BI-Rate yang diperkirakan turun sebesar 25 basis poin (bps) pada September 2024.
 

Proyeksi itu, jelas Helmi, didasarkan pada tren suku bunga SRBI yang naik jauh lebih tinggi dibanding kenaikan BI-Rate pada saat BI menaikkan suku bunga acuannya baik pada Oktober tahun lalu maupun April tahun ini.

“Sehingga perkiraan kami, ketika suku bunga BI bergerak turun, maka yang akan terjadi adalah suku bunga SRBI-nya yang akan turun lebih banyak dibandingkan dengan BI Rate-nya,” kata Helmi saat pemaparan prospek ekonomi di Jakarta, Kamis.

Helmi mengatakan, suku bunga SRBI tenor 12 bulan juga sudah turun selama beberapa minggu terakhir kira-kira sebesar 25 bps dari 7,5 persen menjadi berada di kisaran 7,25 persen.

Apabila BI mulai menurunkan suku bunganya pada September mendatang, ujar Helmi, maka kemungkinan BI akan menurunkan suku bunga SRBI terlebih dahulu.

“Waktu April lalu, BI-Rate naik 25 bps, tapi suku bunga SRBI-nya naik kalau tidak salah hampir 60 bps. Jadi itu mungkin yang nanti akan berbalik. Walaupun mungkin BI-Rate turun perkiraan kami 25 bps, tapi suku bunga SRBI-nya mungkin bisa turun lebih banyak,” jelas dia.

Di sisi lain, Helmi juga mengingatkan bahwa masih ada beberapa risiko mendatang yang perlu untuk terus dipantau salah satunya terkait dengan aliran modal masuk (inflow) ke pasar keuangan Indonesia, terutama ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Pantauan terhadap data global fund flows Citi, jelas Helmi, menunjukkan bahwa aliran modal masuk ke seluruh negara-negara berkembang atau emerging market sebenarnya belum terlalu kuat secara keseluruhan.

Dia menduga ada indikasi bahwa inflow ke Indonesia ini masih merupakan gejala atau akibat dari pergeseran posisi investor dalam portofolionya.

Sementara portofolio emerging market-nya sendiri kemungkinan belum menerima inflow yang signifikan secara keseluruhan.

“Dengan demikian, implikasinya adalah keberlanjutan dari inflow ke Indonesia yang kita lihat sekarang ini mungkin akan relatif lebih sensitif terhadap dinamika valuasi atau pergerakan harga-harga aset keuangan kita,” kata Helmi.

Selain itu, risiko eksternal yang terkait dengan Pemilu di AS juga perlu untuk terus dipantau. Pasar juga masih menantikan apakah setelah Pemilu AS tersebut akan terjadi perang tarif babak baru antara AS dengan Tiongkok.

“Sebagaimana kita lihat pada pemerintahan Donald Trump 2016-2020, setiap ada pengenaan tarif dari AS terhadap barang-barang Tiongkok itu biasanya diikuti oleh penguatan dolar karena mata uang Tiongkok atau Chinese Yuan itu terdevaluasi. Dan ini merupakan risiko bagi nilai tukar negara-negara berkembang karena China merupakan jangkar bagi nilai tukar negara-negara berkembang,” jelas Helmi.

Terakhir, risiko yang harus terus dipantau yaitu mengenai posisi investor asing di Indonesia. Helmi mengatakan, instrumen moneter jangka pendek di Indonesia kemungkinan bisa berbalik apabila suku bunga domestik bergerak turun.

“Sebagaimana kita ketahui, posisi asing di pasar instrumen keuangan jangka pendek di Indonesia ini cukup signifikan. Sehingga kalau itu berbalik, ini bisa menetralisasi dampak positif dari arus modal masuk yang sekarang mengalir ke pasar SBN,” kata Helmi.

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Abdul Hakim Muhiddin
Copyright © ANTARA 2024