Jakarta (ANTARA) - Warisan merupakan pemberian maupun peninggalan dari orang yang telah meninggal dunia. Warisan dianggap bagi sebagian orang sebagai simbol kasih sayang dan upaya untuk memastikan kesejahteraan keturunannya.

Lantas apa itu warisan? Warisan berasal dari kata serapan bahasa Arab diartikan sebagai berpindahnya sesuatu (aset) dari seseorang ke orang lain, mengutip laman Media Keuangan Kementerian Keuangan.

Warisan diartikan sebagai sesuatu yang diwariskan, seperti harta, nama baik, harta pusaka yang tidak sedikit jumlahnya, hal ini mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Warisan merujuk pada harta atau kekayaan berupa aset berharga yang ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal dunia (pewaris), bisa berupa properti, uang tunai, dan benda berharga lainnya.

Dalam warisan, setidaknya ada tiga unsur berikut, yakni:

1. Pewaris

Pewaris merupakan orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan harta benda untuk dibagikan kepada yang berhak (ahli waris).

Orang yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.

Umumnya, pewaris memberikan harta, kewajiban, ataupun utang kepada ahli waris.


2. Ahli waris

Ahli waris merupakan kumpulan orang yang berhak untuk mendapatkan harta warisan dari pewaris yang telah meninggal dunia berdasarkan bagian-bagian yang telah disepakati.

Penentuan ahli waris dilakukan berdasarkan nasab atau hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Ahli waris ini memiliki hak secara hukum untuk menerima seluruh harta, kewajiban, bahkan utang yang ditinggalkan pewaris.


3. Harta warisan

Harta warisan merupakan sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia.

Warisan tidak hanya berupa harta, tetapi dapat berupa utang yang harus dibayar oleh orang yang masih hidup dan menjadi pewaris atau ahli warisnya.

Baca juga: Pembagian warisan dalam Islam 
Baca juga: Pengertian talak dan perbedaan talak satu, dua dan tiga Jenis hukum waris di Indonesia

Warisan dapat dibagi bergantung pada hukum yang mengaturnya. Di Indonesia, ada beberapa hukum waris yang dijadikan landasan seperti hukum waris agama, hukum waris adat, dan kitab undang-undang hukum perdata.

Hukum waris merupakan aturan tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris yang telah meninggal dunia, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Berikut adalah beberapa jenis hukum waris yang berlaku dan digunakan di Indonesia:

1. Hukum waris Islam

Pelaksanaan pembagian warisan untuk masyarakat beragama Islam di Indonesia diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang. Hukum waris Islam banyak diterapkan bagi penganut agama Islam, dan jika berperkara di Pengadilan Agama.

Ilmu yang bertujuan untuk mengetahui siapa yang berhak mendapat waris dan siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran yang diterima untuk setiap ahli waris. Aturan dan ketentuan mengenai pewarisan dalam Islam bersumber utama dari Al-Quran dan Hadits.

Berdasarkan Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam (KHI), pembagian ahli waris terdapat kelompok yang terdiri:

1. Pembagian harta warisan menurut hubungan darah
  • Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek
  • Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek
2. Pembagian harta warisan menurut hubungan perkawinan: duda atau janda

Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Baca juga: Hukum waris menurut Islam
Baca juga: Menelisik hukum nikah siri dalam Islam dan negara
2. Hukum waris adat

Hukum waris adat bersumber dari kebiasaan dan tradisi setempat berbeda-beda di setiap daerah, serta menganut keturunan dari bapak atau ibu.

Hukum waris adat tidak selalu tertulis dalam bentuk perundang-undangan. Aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan diikuti oleh masyarakat adat, bisa berupa tradisi lisan atau tertulis.

Hukum waris adat mempunyai tiga sistem kekerabatan dalam pembagian warisnya, yakni:
  • Patrilineal, yaitu sistem kekerabatan yang ditarik dari garis pihak bapak. Dalam hal ini, kedudukan laki-laki lebih menonjol dibandingkan perempuan dalam hal pembagian warisan, biasanya anak laki-laki mendapatkan pembagian warisan lebih banyak daripada anak perempuan.
  • Matrilineal, yaitu sistem kekerabatan yang ditarik dari garis pihak ibu. Dalam hal ini, kedudukan perempuan lebih menonjol daripada kedudukan dari garis laki-laki, pembagian warisannya pun lebih mengutamakan anak perempuan.
  • Parental atau bilateral, yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari kedua pihak, bapak dan ibu. Dalam hal ini, kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam pembagian warisan seimbang.

3. Hukum waris perdata

Pembagian harta waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) hanya dapat terjadi karena kematian. Terkait pembagian harta warisan ini, ada dua cara yang dapat dilakukan, yakni berdasarkan surat wasiat atau undang-undang.

Prinsip warisan menurut hukum perdata yakni apabila terjadinya suatu kematian dari pewaris dan adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau istri dari pewaris, dengan ketentuan mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia.

Terdapat 4 golongan yang berhak menjadi pewaris, meliputi:
  • Golongan I, yakni suami atau isteri yang hidup terlama dan anak, serta keturunannya
  • Golongan II, yakni orang tua dan saudara kandung dari pewaris termasuk keturunan dari saudara kandung pewaris
  • Golongan III, yakni keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris (contoh kakek dan nenek pewaris, baik dari pihak ibu maupun dari pihak bapak)
  • Golongan IV, yakni terdiri dari saudara dalam garis ke samping, misalnya paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, sepupu sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.

Baca juga: Pakar: ahli waris jangan dibebankan utang pewaris
Baca juga: Hukum menikah dalam perspektif Islam

Pewarta: Sri Dewi Larasati
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2024