Jakarta (ANTARA) - Para pelaku industri plastik hilir meminta perlindungan dari pemerintah agar dapat bersaing di pasar domestik di tengah gempuran impor produk jadi plastik di dalam negeri.

Dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis, juru bicara Forum Lintas Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (FLAIPHI) Henry Chevalier mengatakan bahwa kapasitas industri hulu domestik dalam memasok bahan baku plastik belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan dalam negeri.

Ia menyebut saat ini industri hulu hanya mampu memenuhi sekitar 60 persen dari kebutuhan bahan baku plastik lokal, sementara sisanya impor.

“Kalau impor ada biaya lain-lain seperti bea masuk. Jika kami impor dari Timur Tengah misalnya, bea masuknya bisa sampai 15 persen,” kata dia.

Bea masuk yang tinggi ini, menurut dia, semakin membebani biaya produksi industri plastik dalam negeri. Kondisi tersebut membuat harga jual produk dalam negeri menjadi lebih mahal dibandingkan produk impor yang masuk ke Indonesia.

Sementara itu, negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam menawarkan bea masuk bahan baku yang jauh lebih rendah, bahkan bisa sampai 0--3 persen.

Kondisi ini memungkinkan mereka untuk memproduksi dan mengekspor produk plastik dengan biaya yang jauh lebih rendah, sehingga produk plastik impor dari negara-negara tersebut dapat memasuki pasar Indonesia dengan harga yang lebih murah.

Kondisi itu membuat industri hilir dalam negeri sulit bersaing dengan industri hilir luar negeri. Pasalnya, biaya bahan baku yang mencapai 66,5 persen dari total biaya produksi menjadi faktor penentu harga jual produk akhir.

Upah buruh Indonesia yang relatif lebih tinggi dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya, semakin menyulitkan industri dalam negeri untuk bersaing.

Para pelaku industri plastik hilir berharap pemerintah dapat memberikan solusi atas permasalahan ini. Henry menyarankan agar pemerintah memberikan proteksi kepada industri hulu, tetapi bukan melalui instrumen bea masuk impor.

Henry menilai proteksi yang diberikan pemerintah melalui tarif bea masuk justru akan menyebabkan harga bahan baku plastik di dalam negeri menjadi lebih tinggi dan membuat daya saing produk jadi plastik Indonesia menjadi relatif lebih rendah.

Sebagai solusi, FLAIPHI menyarankan pemerintah untuk menerapkan kebijakan-kebijakan pajak yang lebih mendukung, seperti keringanan pajak badan usaha.

Baca juga: Kapasitas produksi industri Daur Ulang Plastik perlu ditingkatkan

“Boleh-boleh saja pemerintah memberikan proteksi terhadap industri hulu. Namun, jangan berupa tariff barrier, melainkan keringanan pajak. Kalau tariff barrier, bea masuk, ya mati kami di hilir,” ujar dia.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia untuk produk plastik hilir selalu mengalami defisit dalam 10 tahun terakhir. Defisit neraca perdagangan plastik hilir Indonesia pada 2023 mencapai 1,7 miliar dolar AS.

Ekspor plastik hilir Indonesia pada 2023 mencapai 1,49 miliar dolar AS, sementara impor mencapai 3,27 miliar dolar AS. Negara asal impor produk plastik hilir berasal dari China (51,9 persen), Jepang (8,16 persen), Malaysia (6,4 persen), Thailand (5,3 persen), Korea (4,3 persen), dan Singapura (4,2 persen).

Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Evi Ratnawati
Copyright © ANTARA 2024