Jakarta (ANTARA) - Pertarungan hukum antara PT Bank DKI Jakarta dengan PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) ternyata belum berakhir setelah Bank DKI kembali menggugat WSBP, yang kali ini melalui Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 3 Januari 2024 dengan nomor perkara 05/Pdt.G./2024/PNJkt.Tim.

Terbaru, pada Kamis (8/8), telah digelar sidang untuk mendengarkan pernyataan saksi ahli dari pihak Bank DKI pada PN Jaktim.

Ahli hukum Elisa Sugito menyebutkan gugatan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang dilayangkan Bank DKI kepada WSBP pasti ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur karena terdapat suatu indikasi tidak sah terhadap gugatan PKPU apabila diajukan di pengadilan negeri.

"PKPU atau pailit itu ranah pengadilan niaga, bukan pengadilan negeri," ujar Elisa saat dihubungi di Jakarta, Kamis.

Ia menuturkan hal tersebut diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

Selain itu, sambung dia, perjanjian perdamaian PKPU mengikat seluruh kreditur dengan debiturnya sehingga tidak bisa dibatalkan secara sepihak.

Apabila Bank DKI tetap bersikeras mengajukan gugatan terkait PKPU di Pengadilan Negeri, Elisa berpendapat hal tersebut akan membuang waktu dan sumber daya, baik bagi penggugat maupun tergugat serta dapat memperpanjang proses penyelesaian utang yang seharusnya lebih cepat.

"Tetapi buat salah satu pihak, itu bagian dari buying time juga sih karena memperlama," ucap dia.

Kendati demikian, dia mengingatkan agar gugatan Bank DKI harus dipahami lebih lanjut, terutama terkait kontrak dengan WSBP, yang menyebabkan gugatan PKPU diajukan di PN Jaktim.

Sementara itu, pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Herry Gunawan menyampaikan bahwa pengabulan tuntutan Bank DKI terhadap WSBP dapat berdampak terhadap arus kas WSBP.

Selain itu, juga akan mengganggu upaya WSBP untuk melakukan restrukturisasi utang. Padahal, perseroan sudah melakukan berbagai cara untuk mematuhi homologasi (pengesahan) dengan melakukan berulang kali pembayaran kepada kreditur lain.

"Dampak keuangan bagi WSBP jika gugatan Bank DKI dikabulkan, tentu pada akhirnya harus bayar kewajiban yang melekat pada obligasi, bunga dan utang pokoknya," ujar Herry saat dihubungi pada Selasa (13/8).

Diketahui, WSBP juga telah melakukan pembayaran utang menggunakan Cash Flow Available for Debt Services (CFADS) sebanyak tiga kali sesuai jadwal yang ditentukan.

Rinciannya, senilai Rp34,5 miliar pada Maret 2023, sebesar Rp37 miliar pada September 2023, serta sejumlah Rp36,5 miliar pada Maret 2024. Sedangkan pembayaran keempat akan jatuh pada 25 September 2024.

Herry melanjutkan apabila tuntutan Bank DKI dikabulkan, tentunya akan meningkatkan risiko yang dimiliki oleh para vendor dengan adanya potensi tak terbayar, setidaknya tertunda.

"Artinya, untuk membiayai kegiatan operasinya sudah harus ditambal dengan dana di luar hasil produksi atau jualan jasa. Ini beban yang sangat berat, dan vendor harus siap-siap," katanya.

Kemudian, lanjutnya, apabila gugatan dikabulkan, bisa saja kemungkinan terjadi pailit terhadap WSBP.

"Misalnya, dari vendor, jika pengadilan memutuskan harus pailit, kan asetnya bakal dijual, setelah dilakukan penilaian oleh pihak independen untuk membayar seluruh kewajibannya," ujar Herry.

Ia menjelaskan bahwa keuangan WSBP sangat berisiko, yang mana ekuitasnya negatif karena kewajiban (liabilitasnya, terutama utang) lebih besar.

"Hal tersebut menunjukkan bahwa perusahaan memiliki risiko sangat tinggi dalam memenuhi kewajibannya, terutama pinjaman, serta bisa juga kepada vendor," ujar Herry.

ANTARA juga telah mewawancarai ahli hukum kepailitan Universitas Airlangga Prof. Hadi Shubhan, yang juga menjadi saksi ahli pada persidangan tersebut. Ia menilai gugatan tentang PKPU maupun homologasi PKPU Bank DKI kepada WSBP merupakan domain pengadilan niaga.

"Pengadilan negeri tidak berwenang menilai hasil putusan homologasi perdamaian PKPU," ujar Shubhan saat dihubungi di Jakarta, Senin (12/8).

Wartawan sudah berusaha menghubungi saksi ahli dan kuasa hukum Bank DKI, namun yang bersangkutan tidak bersedia untuk menjawab.

Sebelumnya, WSBP telah memperoleh persetujuan kreditur untuk perdamaian dari hasil pemungutan suara atas rencana perdamaian PKPU pada tanggal 17 dan 20 Juni 2022 di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Meski begitu, pada 5 Juli 2022, Bank DKI mengajukan permohonan kasasi atas pengesahan perjanjian perdamaian WSBP. Kemudian pada tanggal 20 September 2022, MA memberikan putusan tolak atas gugatan kasasi dari Bank DKI.

Dengan begitu, putusan pengesahan perdamaian WSBP dinyatakan berkekuatan hukum tetap (inkrah).

Walaupun putusan homologasi telah dinyatakan inkrah, Bank DKI sebagai kreditur kembali menggugat WSBP dengan nomor gugatan 800/Pdt.G/2023/PN.Jkt.Pst pada tanggal 30 November 2023 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemudian tuntutannya dicabut.

Setelah itu, Bank DKI kembali menggugat WSBP pada tanggal 3 Januari 2024 dengan nomor perkara 05/Pdt.G./2024/PNJkt.Tim, yang turut menggugat adalah notaris Ashoya Ratam sebagai Turut Tergugat I dan PT Bursa Efek Indonesia sebagai Turut Tergugat II.

Salah satu gugatannya, yakni pembatalan persetujuan konversi utang yang sebelumnya telah dilakukan dalam rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) pada tanggal 30 Juni 2023 serta menginginkan WSBP melakukan amandemen perjanjian perdamaian yang telah di homologasi, khususnya utang WSBP kepada Bank DKI.

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2024