Jakarta (ANTARA) - Pengamat Konsumen, Arief Safari mengatakan masyarakat berhak melakukan aduan apabila mendapatkan barang tidak sesuai dengan kualitasnya, namun perlu sesuai prosedur guna mencegah kesalahpahaman yang berisiko tindak pidana.

Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis, Arief menjelaskan bahwa ketentuan pengaduan tertera dalam undang-undang (UU) Perlindungan Konsumen nomor 8 Tahun 1999.

Oleh karena itu, dia mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati dan tidak bermain hakim sendiri dengan memviralkan sesuatu apabila ingin melakukan komplain. "Takutnya pelaku usaha ternyata punya bukti lain dan malah berbalik. Itu yang harus hati-hati," ujarnya.

Baca juga: Industri AMDK bersinergi pemerintah wujudkan kelestarian lingkungan

Arief menjelaskan konsumen seharusnya memberikan komplain langsung kepada produsen atau pelaku usaha apabila merasa ada haknya yang dilanggar, sehingga tidak serta merta melakukan dokumentasi dan disebar secara luas.

"Artinya, tidak memviralkan, tetapi lapor. Bicara dulu sama pelaku usaha," katanya.

Apabila tidak ada resolusi, lanjutnya, melapor dan meminta advokasi ke Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), contohnya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) atau badan LPKSM lain.

Selain itu, katanya, bisa juga mengadu ke pemerintah, misalnya ke Direktorat Perlindungan Konsumen di Kementerian Perdagangan atau ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI.

"Advokasi ini gunanya supaya lembaga ini menemani si konsumen untuk bicara lagi dengan pelaku usaha agar ada resolusi dari masalah yang terjadi," katanya.

Ia mengatakan apabila resolusi ini tidak terwujud baru dibawa ke jalur litigasi sengketa di pengadilan atau bisa juga ke jalur non-litigasi melalui badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) di masing-masing provinsi.

Arief mengemukakan masyarakat harus berani bertanggung jawab apabila tidak melakukan pengaduan sesuai prosedur yang berlaku, karena produsen atau pelaku usaha juga memiliki hak untuk menyanggah informasi yang telah disebarkan tersebut.

"Kalau sudah viral ya berarti dia (konsumen) harus bertanggung jawab atas informasi yang dia viralkan tersebut, benar tidak? Kalau tidak benar berarti kan si pelaku usaha berhak untuk menyanggah hal itu, kemudian mempermasalahkan masalah yang ada sesuai undang-undang ITE," katanya.

Baca juga: Sejumlah ahli tegaskan AMDK galon polikarbonat aman dikonsumsi

Baca juga: BPOM lakukan pemantauan rutin terhadap AMDK yang beredar di masyarakat


Dalam keterangan yang sama, Pakar Hukum Pidana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Setya Indra Arifin menyebutkan bahwa semua konsumen yang menyebarkan informasi yang tidak sesuai fakta menghadapi risiko pelanggaran pidana.

Dia menilai unggahan tersebut bisa jadi berpengaruh terhadap citra diri dan mencoreng nama baik pribadi atau institusi tertentu.

"Jika itu terjadi, dia bisa dituntut karena pencemaran nama baik. Saya kira bisa lebih berbahaya lagi kalau yang dinyatakan itu adalah fitnah," ujar Setya.

Sebelumnya, sempat beredar video viral di media sosial terkait produk AMDK yang mengandung jentik hitam yang diunggah seorang konsumen. Namun, saat akan ditelusuri, konsumen tersebut mempersulit produsen untuk memverifikasi ketidaksesuaian barang yang diterima.

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2024