Jakarta (ANTARA) - Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menilai data pemilik manfaat (beneficial owner) akhir suatu korporasi bermanfaat untuk pengembangan bisnis dan penegakan hukum di Indonesia.

Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham Cahyo Muzhar mengatakan bahwa sejak menjadi anggota Satuan Tugas (Satgas) Aksi Keuangan Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (FATF) pada akhir 2023, cara Indonesia mengelola basis data pemilik manfaat akhir korporasi dinilai oleh FATF.

"Jadi, ada kewajiban perusahaan untuk men-declare pemilik manfaat ini," ujar Cahyo dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis.

Cahyo mengungkapkan bahwa pemilik manfaat akhir dari suatu korporasi bisa berupa perseroan terbatas (PT), yayasan, firma, persekutuan perdata, persekutuan komanditer (CV), dan lain-lain.

Dari segi manfaat bisnis, Cahyo menjelaskan bahwa data pemilik manfaat diperlukan agar pihak yang berbisnis dengan korporasi di Indonesia mengetahui pemilik manfaat akhir dari korporasi tersebut supaya tidak berbisnis dengan entitas yang terlibat dalam tindak pidana.

Dengan demikian, kata dia, Indonesia akan mendapatkan kepercayaan dunia, khususnya pada saat Indonesia ingin mengembangkan dan memacu perekonomian.

"Tentu investor pada saat ingin berinvestasi di Indonesia harus memastikan bahwa uangnya tidak tercampur dengan hasil tindak pidana," tuturnya.

Sementara itu, dari perspektif manfaat penegakan hukum, dia menuturkan bahwa kepentingan institusi penegak hukum Indonesia dapat dipenuhi dalam proses hukum berupa penyidikan, penuntutan, eksekusi, baik tindak pidana umum, tindak pidana khusus, maupun tindak pidana transnasional antarnegara.

Pada saat yang bersamaan, kata dia, Indonesia saat ini sedang dalam proses evaluasi oleh Bank Dunia terkait dengan kemudahan berusaha sehingga terdapat urgensi menyeimbangkan kemudahan berbisnis dan berinvestasi di Indonesia dengan keamanan berbisnis.

"Dengan demikian, harus mudah bisnis dan mudah investasi, tetapi juga harus dipastikan bahwa tidak ada uang atau bisnis dan investasi yang kemudian disalahgunakan untuk tindak pidana," ungkap Cahyo.

Tindak pidana dimaksud, yakni seperti tindak pidana pencucian uang (TPPU), tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT), dan proliferasi nuklir.

Baca juga: Kemenkumham: Transparansi kepemilikan manfaat untuk perangi korupsi
Baca juga: Kemenkumham: Sebelum selesaikan sengketa INI tak bisa ujian kode etik

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024