Jakarta (ANTARA) - Seiring dengan dinamika dan perkembangan teknologi yang makin mutakhir, aturan dan kebijakan pemerintah perlu disesuaikan supaya tetap relevan, salah satunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang telah berusia lebih dari satu dekade.
 
“UU KIP mengatur kewajiban badan publik untuk mempublikasikan informasi publik secara proaktif. Ini adalah langkah yang bijaksana untuk menjaga keseimbangan antara keterbukaan dan kepentingan lain secara sah. Regulasi ini juga mengatur mekanisme permintaan informasi publik oleh pemohon informasi sebagai wujud pemenuhan hak konstitusional,” jelas Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Usman Kansong di Jakarta, Selasa (13/8).
 
 
 
Penyesuaian dan perubahan Undang-Undang Keterbukaan Informasi atau Freedom of Information Act (FOIA) dijelaskan Usman telah terjadi di beberapa negara sesuai dengan konteks masing-masing. Seperti Amerika Serikat yang melakukan perubahan signifikan pada tahun 2016 guna meningkatkan aksesibilitas digital dan memperkuat kewajiban pemerintah dalam merilis informasi.
 
 
 
Sejalan dengan itu, Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Ditjen IKP) mengadakan diskusi-diskusi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait isu keterbukaan informasi publik. Ditjen IKP juga menyusun draf naskah akademik revisi UU KIP, dengan dukungan dari Pusat Studi Kebijakan Negara, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
 
 
 
“Semoga langkah awal ini bisa mewujudkan UU KIP yang bisa mengakomodasi kepentingan setiap pihak yang terlibat di dalamnya, dan tentunya lebih tepat guna untuk memenuhi hak publik mendapatkan informasi publik dan menciptakan meaningful participation,” ujar Usman.
 
 
 
Aspirasi yang terkumpul tentang kebutuhan revisi UU KIP dijelaskan Direktur Tata Kelola dan Kemitraan Komunikasi Publik Hasyim Gautama, dikelompokkan menjadi beberapa kluster. Temuan-temuan tersebut tentunya menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan draf naskah akademik revisi UU KIP.
 
 
 
“Kami membentuk kluster-kluster temuan masalah untuk revisi UU KIP ini. Seperti terkait dengan pemohon dan badan publik, proses pengelolaan informasi publik, termasuk Komisi Informasi (KI), informasi publik, penyelesaian sengketa, dan pasal-pasal spesifik yang perlu direvisi,” jelas Hasyim.
 
 
 
Ia menjelaskan bahwa berbagai aktivitas berupa pengumpulan data dan Focus Group Discussion (FGD) telah dijalankan sejak tahun 2023. Hingga pada tanggal 15 Desember 2023, Ketua Komisi Informasi Pusat menyerahkan salinan naskah kajian atas UU KIP yang disusun oleh Komisi Informasi Pusat kepada Menteri Kominfo, untuk disusun menjadi bagian dari usulan pemerintah.
 
 
 
Hingga saat ini proses penelitian terhadap revisi UU KIP masih berlangsung. Peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Wicaksana Dramanda menjelaskan bahwa UU KIP memiliki celah dalam hal menjamin hak untuk memperoleh informasi.
 
 
 
“Seperti perusahaan yang mendapatkan konsesi negara, seharusnya memiliki fungsi layanan publik. Tetapi karena tidak didanai oleh APBN atau APBD maka dikecualikan oleh entitas badan publik yang harus terikat oleh UU KIP,” ungkap Wicaksana.
 
 
 
Celah lainnya yang perlu diperbaiki dari UU KIP adalah ruang lingkup pemohon informasi yang terbatas, adanya Vexatious Request (permintaan yang menyusahkan), waktu penyediaan informasi yang lama, klasifikasi informasi yang kompleks, ketiadaan pengaturan operasionalisasi uji konsekuensi, serta penegakan keterbukaan informasi yang belum efektif dan efisien, karena kelembagaan KI yang belum optimal.
 
 
 
Arah pengaturan baru tentunya dibutuhkan untuk menjadikan UU KIP lebih relevan dan menekan kendala yang muncul. Peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran lainnya, Giri Ahmad Taufik menyebut dibutuhkan perluasan pada ruang lingkup pemohon informasi dan badan publik, serta reklasifikasi informasi publik.
 
 
 
“Soal klasifikasi informasi publik, kami ingin menyederhanakan berdasarkan masukan. Jadi hanya dua kategori informasi, yaitu informasi publik yang wajib diumumkan dan yang wajib disediakan,” jelas Giri.
 
 
 
Perubahan UU KIP yang saat ini sedang dirumuskan membutuhkan aspirasi dari berbagai pihak, termasuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang berfungsi sebagai pengelola dan penyampai dokumen yang dimiliki oleh Badan Publik. Kepala Bidang Informasi Publik, Dinas Kominfotik Provinsi DKI Jakarta Raides Aryanto turut menyampaikan bahwa perubahan pada draf naskah akademik perlu lebih diperjelas definisi dan batasannya.
 
 
 
“Ketika warga negara asing diperbolehkan mengakses informasi publik, apakah ada syarat khusus? Apakah ada batasan objek permohonannya? Ini perlu diperjelas,” ucap Raides.
 
 
 
Kepala Bagian Manajemen Pengelolaan Data dan Layanan Informasi, Kementerian Keuangan Titi Susanti turut menyampaikan pentingnya menentukan batasan dan ruang lingkup ketika memperluas soal definisi badan publik dan pemohon.
 
 
 
“Ada istilah baru yaitu badan yang dipersamakan namun memang perlu diatur batasannya. Karena untuk layanan informasi bisa jadi nantinya organisasi sekecil apapun atau mungkin yang tidak berbadan hukum sekalipun, sepanjang berkaitan dengan kepentingan publik, juga dituntut untuk menjalankan kewajiban dari UU ini. Kita perlu pahami apakah malah akan membuat ribet atau memudahkan di masa depan,” tanggap Titi.
 
 
 
Sebagai informasi, Forum Koordinasi PPID: Konsultasi Publik Revisi Undang-Undang No 14 Tahun 2008 untuk K/L/D diselenggarakan oleh Direktorat Tata Kelola dan Kemitraan Komunikasi Publik secara hybrid. Acara ini diharapkan dapat menjaring masukan yang positif dari K/L/D untuk naskah akademik dan rancangan revisi UU KIP dan dihadiri lebih dari 300 peserta luring dan daring.
 
 
 
 

Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2024