Banda Aceh (ANTARA) - Yayasan Bantuan Hukum Anak (YBHA) Peutuah Mandiri Aceh meminta aparat penegak hukum dapat menangani kasus KDRT yang diterima influencer asal Aceh, Cut Intan Nabila secara transparan, dan korban harus mendapatkan pemulihan mental-nya kembali.

“Apalagi, dalam kasus ini bukan hanya korban selebgram tersebut saja, tetapi ada anak-anak mereka yang juga harus diselamatkan secara mental,” kata Direktur YBHA Peutuah Mandiri Aceh, Rudy Bastian, di Banda Aceh, Rabu.

Baca juga: Nasabah PNM Mekaar Aceh, Berhasil Atasi KDRT Dapat Pujian Menteri PPPA

Sebelumnya, Cut Intan Nabila mengunggah video rekaman CCTV ketika mendapatkan penganiayaan dari suaminya, Armor Toreador pada Selasa (13/08) siang di akun instagramnya @cut.intannabila.

Dalam video itu, korban terlibat cekcok dengan suaminya saat berada di atas kasur dalam kamar. Setelahnya, suaminya mendadak memukul hingga mencekik korban berkali-kali.

Saat peristiwa penganiayaan itu, ada anak ketiga mereka di atas kasur. Bayi yang masih berusia dua minggu itu tertendang oleh kaki Armor Toreador saat menganiaya korban. Bayi itu terlihat tersentak kaget beberapa kali karenanya.

Baca juga: Polresta Banda Aceh ungkap lima kasus asusila dan KDRT dalam 44 hari

Sejauh ini, Suami Cut Intan sudah ditangkap oleh Polres Bogor, Jawa Barat dan masih pemeriksaan terkait tindakannya tersebut.

Rudy mengatakan, dalam kondisi apapun, KDRT tidak dibenarkan, dan tindakan korban melaporkan kekerasan yang didapatkan dari suaminya sudah sangat tepat.

Sebab, penganiayaan pelaku yang terlihat dari rekaman CCTV yang diunggah korban melalui akun Instagramnya dapat membahayakan nyawa korban dan anak-anaknya.

“Tindakan polisi dengan segera menangkap terduga KDRT juga patut diapresiasi karena jika kita melihat dari rekaman CCTV yang beredar luas, tindakan pelaku bisa saja membahayakan nyawa korban dan anak-anaknya,” ujarnya.

Baca juga: Warga Aceh korban KDRT di Thailand dipulangkan ke Indonesia

Sementara itu, Direktur Flower Aceh, Riswati juga menanggapi tindakan korban KDRT yang memilih untuk tetap bertahan karena pertimbangan anak-anak mereka.

Menurutnya, korban juga merasa bertanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan psikis dan materi untuk anak.

“Seringkali korban dipengaruhi oleh rasa takut, ketergantungan ekonomi, atau berpikir bahwa perpisahan akan berdampak buruk pada anak," kata Riswati.

Baca juga: PKK Aceh serahkan bansos untuk korban KDRT dan pelecehan seksual

Dalam kesempatan ini, ia juga mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan suami korban. Apalagi, dikabarkan bahwa suami nya itu juga berselingkuh.

"Artinya, korban tidak hanya dianiaya secara fisik, melainkan juga mengalami kekerasan secara psikis. Karenanya, dukungan sosial dan akses ke sumber daya yang memadai perlu diberikan kepada korban,” demikian Riswati.

Baca juga: Kementerian PPPA: KDRT di Aceh kian mengkhawatirkan

Sebagai informasi, di Indonesia, kekerasan di ranah personal terhadap perempuan memang paling sering terjadi setiap tahunnya.

Berdasarkan Data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan pada 2023, dari 2.098 pengaduan yang masuk ke Komnas Perempuan, sebanyak 622 kasus merupakan Kekerasan Terhadap Istri (KTI).

Sedangkan berdasarkan dari lembaga layanan seperti Badan Peradilan Umum (Badilum) dan Badan Pembinaan Hukum (BABINKUM) TNI, kasus Kekerasan Terhadap Istri (KTI) mencapai 3.205 kasus pada 2023. Bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan fisik.

Baca juga: Kasus KDRT di Aceh Masih Tersembunyi

Pewarta: Rahmat Fajri
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2024