Jakarta (ANTARA) - Pada 27 November 2024 warga Jakarta akan memilih pemimpin untuk jangka waktu lima tahun ke depan yang diharapkan bisa membawa perubahan dan perbaikan di segala bidang ke arah yang lebih baik, apalagi ke depan tak lagi menyandang status Ibu Kota.

Pemimpin ke depan dituntut bisa membawa keberlanjutan pembangunan. Artinya Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih nantinya harus bisa melanjutkan estafet kepemimpinan. Pembangunan yang menyangkut kemaslahatan masyarakat seharusnya bisa berlanjut.

Jangan sampai gara-gara ego yang dijanjikan saat kampanye serta kepentingan dari partai pengusung membuat program pembangunan terhenti digantikan program baru yang belum tentu dirasakan manfaatnya bagi warga Jakarta.

Jakarta sebagai kota Metropolitan, bahkan Megapolitan (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), memiliki segudang permasalahan yang menjadi pekerjaan rumah. Persoalan tersebut adalah penanganan banjir, polusi udara, penyediaan air minum (bersih), penanganan sampah, penanganan limbah, permukiman kumuh, serta permasalahan sosial.

Bisa dibayangkan pembangunan polder (sistem pompa) di daerah banjir terhenti hanya gara-gara pimpinan yang menjadi pemenang lebih suka membangun sumur resapan. Maka yang terjadi pembangunan polder bakal mangkrak atau malah fungsinya menjadi tidak efektif.

Kolaborasi multi-pihak menjadi solusi termasuk di bidang politik. Keberlanjutan tampuk kepemimpinan seharusnya diikuti dengan estafet program pembangunan. Keberlanjutan program pembangunan menjadi keharusan.

Dibandingkan menghentikan suatu proyek pembangunan, ada baiknya dicarikan solusi agar manfaat yang dirasakan bisa berlipat.

Kasus warga Kampung Bayam Tanjung Priok yang semula menolak pindah karena pembangunan Jakarta International Stadion (JIS) sebagai contoh kebijakan pimpinan yang berbeda. Meski pada akhirnya warga bersedia untuk pindah ke Rusunawa Nagrak di Cilincing, Jakarta Utara.

Selama kampanye Pilkada memang sah-sah saja adu gagasan dan argumentasi kebijakan. Namun saat terpilih maka rencana pembangunan jangka menengah dan panjang yang sudah ada hendaknya dihormati. Banyak pekerjaan besar yang seharusnya tetap dikawal dalam lima tahun mendatang.

Layanan perpipaan air minum, jaringan transportasi (LRT, MRT, dan TransJakarta), revitalisasi Ciliwung, penataan permukiman kumuh, pengendalian banjir, penanganan masalah sosial menjadi program yang seharusnya berkesinambungan setiap tahunnya.
Pergantian pimpinan seharusnya menjamin keberlanjutan pembangunan salah satunya di bidang transportasi. ANTARA/ HO-TransJakarta


Pembangunan berkelanjutan

Sustainability atau keberlanjutan sepertinya menjadi hal penting di tengah-tengah dilema desentralisasi yang masih mengagungkan kebijakan dirinya lah yang terbaik, sedangkan kebijakan lainnya dianggap keliru atau tidak benar.

Keprihatinan ini juga disampaikan dalam Bulaksumur Roundtable Forum (BRF) yang diselenggarakan Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada. Sehingga kebijakan desentralisasi yang bertransformasi menjadi keharusan untuk mengatasi persoalan dalam pembangunan berkelanjutan.

Ketua Bulaksumur Roundtable Forum Abdul Gaffar Karim berpendapat dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan penting untuk melihat karakteristik sehingga kebijakan yang diterapkan dapat lebih spesifik dan efektif. Lantas, penting juga untuk melakukan peninjauan secara berkala atas kebijakan tersebut untuk memastikan tak melenceng dari prinsip keberlanjutan.

Bulaksumur Roundtable Forum menawarkan solusi praktis dan solusi teknis. Solusi politis, perlu didorong kepemimpinan dan kolaborasi untuk mendorong kerjasama pusat-daerah serta pemerintah, bisnis, dan masyarakat dengan dasar saling-percaya.

Berangkat dari rekomendasi ini sudah sepatutnya siapa pun Kepala Daerah yang akan memimpin provinsi maupun kota/ kabupaten harus berpikir secara menyeluruh dengan mengadopsi kebijakan-kebijakan di daerah tersebut agar tetap sejalan.

Seharusnya kebijakan desentralisasi dikembalikan kepada tujuan semula yakni sebesar-besarnya mewujudkan pembangunan di suatu daerah yang hasilnya dirasakan masyarakat setempat dalam jangka panjang.

Beradaptasi dengan keinginan masyarakat dan mengidentifikasi persoalan jangka panjang menjadi suatu keharusan kebijakan yang berkelanjutan.

Sebenarnya kebijakan pusat dan daerah itu sudah tersedia tinggal daerah-daerah tersebut menyelaraskan. Seperti program pembangunan jaringan jalan yang membagi porsi nasional, provinsi, kota/kabupaten yang artinya sudah ada standardisasi di dalamnya.

Seharusnya dengan kebijakan yang terarah tersebut tidak lagi ditemukan jalan atau jembatan yang rusak karena masing-masing sudah memahami tugas dan tanggung jawabnya, tinggal mengimplementasikan saja. Meski pemerintahan berganti asalkan paham tugas dan tanggung jawabnya seharusnya pembangunan tetap berjalan secara terarah tidak lagi mengacu kepada pemikiran individu atau sekelompok orang.

Pahami kebijakan

Penting juga untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan memperhatikan kondisi dan karakteristik suatu daerah. Sebagai gambaran dari aspek geografis dan juga kebiasaan (budaya) masyarakat bisa mempengaruhi dalam menyiapkan kebijakan.

Sehingga seorang pimpinan ke depan yang mengusung program pembangunan berkelanjutan dituntut untuk memiliki kemampuan membagi tipologi suatu daerah bahkan harus bisa mengombinasikan kebijakan yang simetris dengan asimetris.
Kebijakan yang berkelanjutan bisa menjamin keberlangsungan usaha termasuk di sektor pertanian. ANTARA/ Ganet Dirgantoro

Hal tersebut hanya bisa dicapai melalui komunikasi multipihak untuk mengelola perbedaan yang ada, sekaligus mengintegrasikan inisiatif keberlanjutan ke dalam lanskap politik dan kebijakan di sektor ekonomi hijau dan biru

Keberlanjutan bisa terwujud apabila kolaborasi atau kerja sama antara pusat dan daerah bisa terjalin atas dasar saling percaya.

Direktur Politik Dalam Negeri Kementerian Dalam Negeri Syarmadani yang menyebut pentingnya membuka dialog dengan multipihak untuk membuka pilihan dalam pengambilan keputusan. Penting juga untuk memperhatikan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta inovasi terkait program keberlanjutan yang akan dijalankan.

Program keberlanjutan ini juga dipakai dalam pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Kewenangan pemerintah daerah diserahkan kepada otorita. Kebijakan ini diambil untuk mengatasi kontestasi kewenangan antara lembaga pemerintahan.

Otorita ini diberikan dengan catatan pelaksanaan harus transparan, inklusif, ramah lingkungan, tangguh, dan berkelanjutan.

Dalam proses keberlanjutan maka konteks sosial, ekonomi, dan lingkungan harus menjadi perhatian yang sangat penting. Sehingga kolaborasi pemerintah dan sektor usaha menjadi hal paling untuk mewujudkan rencana tersebut.

Sedangkan dari sudut pandang berbeda dikemukakan Wakil Ketua Umum Bidang Lingkungan Hidup KADIN Indonesia Silverius Oscar Unggul yang menyebut pembangunan di sektor hilir hendaknya diimbangi juga dengan pembenahan di sektor hulu untuk menjaga keberlangsungan pembangunan ke depan.

Dengan demikian, terjadi keseimbangan antara kegiatan di hulu dan hilir yang menjadi bekal bagi Indonesia terkait regenerasi bahan baku termasuk hutan.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024