London (ANTARA News) - Perusahaan data satelit Inggris, Inmarsat, menggunakan sebuah fenomena gelombang yang ditemukan pada abad 19 untuk menganalisis tujuh "ping" yang diambil satelitnya dari Malaysia Airlines Penerbangan MH370 untuk menentukan destinasi terakhir pesawat ini.

Penemuan baru ini mengantarkan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak hari Senin kemarin untuk menyimpulkan bahwa pesawat Boeing 777 yang telah menghilang lebih dari dua pekan itu jatuh ribuan mil jauhnya di selatan Samudera Hindia dengan menewaskan semua dari 239 orang di dalamnya.

Ping-ping yang secara otomatis terkirim setiap jam dari pesawat itu setelah semua sistem komunikasinya terhenti itu menunjukkan pesawat tersebut terus terbang selama berjam-jam setelah hilang dari jalur penerbangannya dari Kuala Lumpur menuju Beijing.

Berdasarkan waktu sinyal pesawat itu mencapai satelit dan sudut elevasinya, Inmarsat bisa memberikan dua busur (koridor), satu ke utara dan satunya lagi ke selatan yang mungkin diterbangi oleh pesawat tersebut.

Para ilmuwan Inmarsat lalu menyelidiki ping-ping lemah itu berdasarkan sebuah teknik yang didasarkan pada Efek Doppler yang menjelaskan bagaimana sebuah frekuensi perubahan gelombang berbanding relatif dengan pergerakannya, dalam hal ini adalah satelit itu, kata seorang juru bicara seperti dikutip Reuters.

Badan Investigasi Kecelakaan Udara Inggris (AAIB) juga terlibat dalam penganalisaan ini.

Efek Doppler adalah ketika misalnya suara sirene mobil polisi berubah begitu mendekat dan lalu sampai pada pengamat, atau dalam kata lain gelombang suara yang memancar dari misalnya sebuah sirene mobil polisi akan diterima lebih tinggi/rendah frekuensinya jika sirene tersebut mendekati/menjauhi kita.

"Kami kemudian mengambil data yang kami punya dari pesawat itu dan memplot pesawat itu melawan kedua jalur di atas, dan pesawat itu diketahui mengikuti jalur selatan," kata Jonathan Sinnatt, kepala komunikasi perusahaan Inmarsat seperti dikutip Reuters.

Perusahaan ini kemudian membandingkan lintasan penerbangan teoritisnya dengan data yang diterima dari semua Boeing 777 yang diketahui telah menerbangi rute yang sama, kata dia, dan ternyata tepat sekali berpadanan.

Penemuan ini diteruskan kepada perusahaan satelit lainnya untuk diperiksa, kata dia, sebelum dirilis kepada para penyelidik hari Senin itu.

Kekurangan data --hanya ping-ping lemah yang diterima oleh sebuah satelit setiap jam-- membuat teknik-teknik seperti triangulasi dengan memanfaatkan sejumlah satelit atau GPS (Global Positioning System) tidak bisa digunakan untuk menentukan alur terbang pesawat itu.

Stephen Wood, CEO All Source Analysis, sebuah perusahaan analisis satelit, mengatakan para penyelidik sepertinya telah mempersempit area pencarian secara substansial. "Namun itu tetap area yang luas yang harus mereka cari," kata dia.

Insiden ini memacu untuk dilakukannya pengkajian kembali aturan-aturan penerbangan, khususnya yang berkaitan dengan peralatan komunikasi dan kemampuan mematikan transponder pesawat, tambah dia.

Namun terlalu dini untuk mengatakan apa yang akan diperlukan karena masih belum diketahuinya penyebab pesawat tersebut menyimpang dari jalur aslinya.

"Jenis kecelakaan ini akan menyebabkan orang yang menerbangkan pesawat komersial berpenumpang harus benar-benar ditekan selama garis yang sama sekali baru agar tetap melacak kargo berharga mereka," kata Wood, mantan pejabat dinas rahasia AS yang pernah mengepalai unit analisis DigitalGlobe Inc, sebuah perusahaan pencitraan satelit, sampai Juli 2013.

Inmarsat mengatakan untuk biaya yang relatif murah, satelit-satelitnya bisa mengawasi penerbangan-penerbangan dan menyediakan pertukaran data antara di udara dan darat guna membantu mengorganisasikan rute-rute penerbangan demi menghemat waktu dan bahan bakar.

Sistem yang dimanfaatkan luas dalam dunia pelayaran ini tertanam dalam teknologi pengamatan dan komunikasi yang memungkinkan para petugas pengawas lalu lintas udara membuat gambaran di mana perusahaan berada, selain untuk menata rute penerbangan dengan lebih baik lagi.

"Jika Anda memiliki kemampuan itu maka Anda memperoleh perutean terpilih pada ketinggian yang benar yang membuat pesawat Anda lebih hemat bahan bakar, tapi jika Anda tak memilikinya Anda harus terbang rendah namun (taruhannya pesawat Anda) kurang diprioritaskan oleh menara pengawas pesawat (ATC)," kata dia.

Sistem ini digunakan di Atlantik Utara, kata wakil presiden urusan aeronotika Inmarsat David Coiley kepada Reuters belum lama ini, namun tidak umum digunakan di bagian dunia lainnya.

Sinnatt mengatakan fasilitas seperti itu menelan ongkos 10 dolar AS per penerbangan. "Ini adalah hal yang kami terus tekankan pada industri penerbangan untuk melakukannya karena secaga signifikan teknik ini menambah keamanan pesawat," kata dia.

Penyedia satelit lainnya juga mengembangkan sistem pelacakan ini, demikian Reuters.

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014