Dalam forum bertajuk "The Regional Peer Exchange on Advancing Anti-Corruption in Southeast Asia through Beneficial Ownership (BO) Transparency” di Jakarta, Senin (12/8), Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham Cahyo Muzhar mengatakan sejak 2018, Direktorat Jenderal (Ditjen) AHU telah mengelola data BO dari seluruh jenis korporasi di Indonesia secara elektronik.
"Database BO kami dapat diakses oleh lembaga penegak hukum dan otoritas kompeten lainnya melalui integrasi data dan mekanisme berbagi data. Lebih dari itu, data BO kami tersedia untuk publik, menjamin transparansi, dan akuntabilitas,” kata Cahyo seperti dikutip dari keterangan resmi di Jakarta, Selasa.
Dirinya juga menggarisbawahi peran penting yang telah dilakukan Ditjen AHU dalam mengawasi pencatatan BO di Indonesia. Dalam membangun kebijakan BO nasional, Ditjen AHU telah membuahkan hasil dengan penetapan Indonesia sebagai negara anggota Satuan Tugas Aksi Keuangan atau Financial Action Task Force (FATF) pada 2023.
Hal tersebut, kata dia, disebabkan oleh setiap perusahaan di Indonesia yang wajib melaporkan pemilik manfaat akhir.
Lebih lanjut, ia menuturkan untuk memastikan kredibilitas informasi pemilik manfaat, saat ini Ditjen AHU telah menerapkan berbagai langkah verifikasi yang ketat.
Proses tersebut melibatkan persyaratan bagi perusahaan untuk mengidentifikasi pemilik manfaatnya secara internal serta notaris untuk melakukan uji pengguna jasanya, sehingga menjadikan notaris sebagai penjaga pintu penting dalam memastikan akurasi dan kekinian informasi BO.
“Notaris sebagai salah satu gate keeper diberi tanggung jawab untuk melakukan prinsip mengenali pengguna jasa atau customer do diligence serta meningkatkan kewaspadaannya untuk memastikan bahwa korporasi yang akan didaftarkan tidak dikelola atau digunakan sebagai pencucian uang dan pendanaan teroris,” ungkapnya.
Untuk mendukung kepatuhan, sambung dia, Indonesia juga menerapkan sanksi dalam persyaratan deklarasi BO, termasuk daftar hitam publik untuk perusahaan yang tidak mematuhi serta sanksi pemblokiran yang membatasi perubahan anggaran dasar, struktur, kepengurusan, dan kepemilikan perusahaan.
Cahyo menegaskan, berbagai langkah itu bertujuan untuk mencegah ketidakpatuhan dan mendorong transparansi di sektor korporasi.
Dalam upaya menyelaraskan sistem BO dengan standar internasional, Ditjen AHU juga bekerja sama dengan Open Ownership (OO) dan Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (United Nations Office on Drugs and Crime/UNODC) untuk melakukan penilaian komprehensif.
"Meskipun terdapat beberapa isu kecil, sistem BO Indonesia diakui cukup kuat dalam struktur data dan mekanisme verifikasi," tutur Cahyo.
Ia pun menegaskan komitmen untuk terus memperbaiki verifikasi BO, mengintegrasikan data secara lebih luas, dan meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat.
Adapun forum bertajuk yang digelar merupakan hasil kerja sama antara UNODC, Inisiatif Pemulihan Aset yang Dicuri (Stolen Asset Recovery Initiative/StAR Initiative) Bank Dunia, Open Ownership, dan Ditjen AHU Kemenkumham RI.
Baca juga: RI komitmen implementasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi Perempuan
Baca juga: Pakar Unpad dukung Kemkumham rancang regulasi soal penahanan ijazah
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2024