Pertumbuhan ekonomi yang terus dipacu Pemerintah saat ini diharapkan dapat diakselerasi oleh pemerintahan mendatang sehingga Indonesia dapat semakin dekat mewujudkan cita-citanya menjadi negara maju pada 2045
Jakarta (ANTARA) - Masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo di Pemerintahan Indonesia sebentar lagi akan genap berusia 10 tahun dan berakhir pada Oktober 2024. Selanjutnya, estafet pemerintahan beralih ke pemimpin baru yang memenangi Pemilihan Umum 2024, yaitu Prabowo Subianto.

Dalam satu dekade Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), perekonomian Indonesia menghadapi berbagai tantangan, antara lain, pandemi COVID-19, ketegangan atau konflik geopolitik, perang dagang Amerika Serikat dan China, hingga suku bunga tinggi global untuk waktu yang lebih lama.

Di tengah berbagai tantangan tersebut, kinerja ekonomi Indonesia mampu mencatatkan berbagai perkembangan, termasuk bangkit dan pulih dari dampak pandemi COVID-19, inflasi terkendali, stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, hingga ekonomi tumbuh solid di tengah ketidakpastian global.

Pandemi COVID-19 merupakan salah satu tantangan dan bencana global yang tidak disangka-sangka berdampak signifikan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat internasional. Sektor ekonomi, kesehatan, dan kehidupan sosial terguncang hebat karena pandemi. Pertumbuhan ekonomi di berbagai belahan dunia, termasuk negara-negara maju, terpukul telak. Alhasil, pertumbuhan ekonomi dunia mengalami perlambatan.

Di tengah gempuran pandemi sejak awal Maret 2020, Indonesia terus berjuang mencatatkan pertumbuhan ekonomi sambil menjaga kesehatan masyarakat.

Akibat pandemi COVID-19, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi pertumbuhan menjadi -2,07 persen pada 2020. Namun, tak butuh waktu lama bagi Indonesia untuk keluar dari zona kontraksi karena segera tumbuh menjadi 3,69 persen pada 2021 di saat masih banyak negara terjebak dalam kontraksi pertumbuhan ekonomi.

Kinerja ekonomi Indonesia terus melanjutkan pertumbuhan positif pada tahun-tahun berikutnya. Pada 2022, Indonesia mampu meraih pertumbuhan ekonomi sebesar 5,31 persen. Hingga sekarang ekonomi Indonesia mampu mencatatkan pertumbuhan positif di kisaran 5 persen.

Program, kebijakan, dan bantuan Pemerintahan Indonesia terus menopang seluruh aspek kehidupan masyarakat termasuk kehidupan sosial, kesehatan, aktivitas ekonomi, dan keberlanjutan dunia usaha dengan didukung sinergi dan kerja sama seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat dan dunia swasta.

Akhirnya, Indonesia mampu bangkit dan pulih dengan cepat sejak dilanda pandemi COVID-19 hingga menorehkan pertumbuhan positif pada tahun-tahun pandemi, bahkan sebelum Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencabut status darurat COVID-19 pada Mei 2023 hingga saat ini.

Salah satu program Pemerintah Joko Widodo untuk mengurangi dampak COVID-19 terhadap perekonomian adalah Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), yang dimulai sejak 2020 dan berakhir pada 2022.

Secara umum, terdapat enam kebijakan utama program PEN, yakni penanganan kesehatan, perlindungan sosial, insentif bagi dunia usaha, dukungan untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), pembiayaan korporasi, serta program sektoral kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.

Anggaran PEN hingga akhir Desember 2020, terealisasi Rp579,78 triliun atau 83,4 persen dari total pagu sebesar Rp695,2 triliun. Sementara penggunaan dana Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) tahun 2022 mencapai Rp396,7 triliun atau 83,9 persen dari Rp472,6 triliun yang telah dianggarkan.

Sejumlah stimulus fiskal juga diberikan Pemerintah, yang meliputi relaksasi di sektor pajak, relaksasi di sektor bea dan cukai, relaksasi sektor perbankan, sektor perdagangan, sektor kesejahteraan masyarakat dan kesehatan, dan untuk kepentingan UMKM.

UMKM diberi kelonggaran dalam pembayaran angsuran dan bunga kredit melalui program Subsidi Bunga Ultra Mikro dan UMKM.

Melalui stimulus Subsidi Bunga Ultra Mikro, UMKM mendapat fasilitas penundaan sementara pembayaran angsuran atau cicilan pokok serta subsidi pembayaran bunga dalam jangka waktu tertentu atas kredit yang diambil melalui berbagai program seperti BPR, Kredit Usaha Rakyat, UMi, Mekaar, Pegadaian, Koperasi, dan lainnya.

Pemerintah juga memberikan stimulus restrukturisasi kredit perbankan dalam rangka penanganan pandemi COVID-19 untuk menopang kinerja debitur, perbankan, dan perekonomian secara umum untuk melewati periode pandemi.

Sejak diterbitkan pada 2020 hingga berakhir pada 31 Maret 2024, pemanfaatan stimulus restrukturisasi kredit tersebut telah mencapai Rp830,2 triliun, yang diberikan kepada 6,68 juta debitur pada Oktober 2020, yang merupakan angka tertinggi sepanjang sejarah Indonesia.

Sebanyak 75 persen dari total debitur penerima stimulus adalah segmen UMKM atau sebanyak 4,96 juta debitur dengan total outstanding Rp348,8 triliun.


Ekonomi tumbuh positif

Belum selesai dengan pandemi COVID-19, dunia menghadapi konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina, kemudian berlanjut lagi dengan konflik-konflik berkepanjangan di Timur Tengah, seperti perang di Suriah dan konflik antara Israel dan Palestina yang memanas. Ketegangan-ketegangan ini tentu berdampak pada perekonomian dunia dan domestik. Rantai pasok terganggu. Harga komoditas terutama energi dan pangan naik. Alhasil, belanja negara pun naik terutama untuk mengimpor komoditas energi seperti minyak bumi.

Dinamika dan ketidakpastian global terus membayangi pertumbuhan ekonomi dunia dan Indonesia. Bahkan hingga sekarang, ketidakpastian di pasar keuangan global dan konflik geopolitik belum juga usai.

Di tengah kondisi global tersebut, Indonesia tetap mampu berdaya tahan dan mencatatkan pertumbuhan yang solid saat ini. Pada semester I-2024, Indonesia mampu tumbuh sebesar 5,08 persen year on year (yoy).

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2024 diproyeksikan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) akan berada pada rentang 5 persen hingga 5,2 persen. Faktor pendorong kinerja ekonomi terutama konsumsi rumah tangga dan investasi.

Untuk menjaga kinerja konsumsi, Pemerintah akan terus mengarahkan belanja pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menjaga stabilitas harga. Kementerian Keuangan juga akan terus mendukung program perlindungan sosial, terutama bagi masyarakat rentan, sehingga daya beli tetap terjaga.


Inflasi terjaga

Di tengah fenomena suku bunga global tinggi bertahan untuk waktu yang lebih lama, Indonesia mampu menjaga inflasi terkendali dan masuk dalam kisaran sasaran. Berbeda dengan Amerika Serikat yang mengalami inflasi sebesar 3 persen (year on year/yoy) pada Juni 2024, dan masih jauh dari target sasaran sebesar 2 persen, inflasi Indonesia turun menjadi 2,51 persen pada Juni 2024.

Selanjutnya, pada Juli 2024 inflasi Indonesia secara tahunan atau year on year (yoy) tercatat sebesar 2,13 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 106,09. Angka tersebut menunjukkan inflasi domestik akan tetap terjaga dalam kisaran sasaran 2,5 plus minus 1 persen pada 2024 dan 2025.

Penurunan inflasi dipengaruhi oleh peningkatan pasokan pangan seiring berlanjutnya musim panen, dampak positif dari eratnya sinergi pengendalian inflasi Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah (TPIP dan TPID) melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah, serta merupakan hasil dari konsistensi kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia (BI).

Ke depan, menurut Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, inflasi IHK 2024 akan tetap terkendali dalam sasarannya. Inflasi inti diproyeksikan terjaga seiring ekspektasi inflasi yang masuk dalam sasaran, kapasitas perekonomian yang masih besar dan dapat merespons permintaan domestik, imported inflation yang terkendali sejalan dengan kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah BI, serta dampak positif berkembangnya digitalisasi.

Inflasi volatile food diperkirakan tetap terkendali didukung oleh sinergi pengendalian inflasi BI dan Pemerintah Pusat dan daerah.


Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga

Stabilitas sistem keuangan (SSK) tetap terjaga di tengah peningkatan tekanan di pasar keuangan global, seiring ketidakpastian ekonomi global dan risiko geopolitik dunia yang masih tinggi. Neraca pembayaran Indonesia tetap sehat dan mendukung ketahanan eksternal.

Industri perbankan Indonesia mampu menunjukkan kinerja yang resilien menghadapi berbagai dinamika dan tantangan global. Hal tersebut ditunjukkan dengan likuiditas perbankan triwulan II-2024 tetap memadai, tercermin dari rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masih tercatat tinggi sebesar 25,36 persen.

Ketahanan sistem keuangan yang kuat ditopang oleh perbankan yang tetap prudent dalam penyaluran kredit atau pembiayaan dan memitigasi risiko kredit, termasuk risiko dari berakhirnya stimulus restrukturisasi kredit untuk penanganan pandemi COVID-19.

Risiko kredit perbankan juga terjaga dengan rasio non-performing loan (NPL) nett dan NPL gross yang tetap rendah di bawah ambang batas, masing-masing berada di level 0,78 persen dan 2,26 persen.

Selain itu, tambahan likuiditas perbankan disiapkan BI dari implementasi Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) dengan total menjadi Rp280 triliun hingga akhir tahun 2024.

Kebijakan belanja Pemerintah untuk menjaga stabilitas harga dan Program Perlindungan Sosial untuk masyarakat rentan diharapkan mendorong laju pertumbuhan konsumsi masyarakat.

Pertumbuhan ekonomi yang terus dipacu Pemerintah saat ini diharapkan dapat diakselerasi oleh pemerintahan mendatang sehingga Indonesia dapat semakin dekat mewujudkan cita-citanya menjadi negara maju pada 2045.

Editor: Achmad Zaenal M

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024