Jakarta (ANTARA) - Selama satu dasawarsa terakhir, diskursus yang tanpa henti mengenai bipatride (kewarganegaraan ganda) pada berbagai kegiatan yang melibatkan diaspora Indonesia, baik di dalam negeri maupun di mancanegara, terus bergulir. Hal ini berangkat dari fragmentasi kehidupan diaspora Indonesia yang mengalami berbagai problematika dengan solusi yang beragam.
Akhirnya pada penghujung Agustus tahun 2023 diterbitkan ketentuan visa diaspora. Visa ini merupakan bagian dari beragam jenis visa dan izin tinggal yang termaktub dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) No. 22 Tahun 2023 tentang Visa dan Izin Tinggal.
Kaidah visa diaspora tertuang secara makro, yaitu skema pemberian visa diaspora dengan durasi tinggal 1 sampai 10 tahun. Ketentuan ini sebagai wadah untuk memfasilitasi diaspora Indonesia yang ingin berkontribusi bagi negeri. Memang visa diaspora diterbitkan bukan pada saat titik kulminasi narasi bipatride yang menghangat pada pertengahan tahun 2021.
Meskipun demikian, gaung visa diaspora tidaklah memudar. Pasalnya, nuansa pergumulan pandangan dan tanggapan dari berbagai kalangan yang saling beradu argumentasi, selama ini, telah memperoleh jalan tengah yang cukup melegakan bagi semua pihak.
Sepanjang satu dekade belakangan ini tidak dapat dipungkiri terdapat berbagai permasalahan di bidang keimigrasian yang patut untuk diprioritaskan agar segera diselesaikan dengan solusi terbaik.
Hal lain yang ikut menentukan diterbitkannya platform visa diaspora adalah setiap pemimpin memiliki perspektif dan prioritas kerja yang berbeda dalam mengarahkan laju organisasi. Sehingga baru pada periode ini, visa diaspora yang selanjutnya menjadi dasar pemberian izin tinggal diaspora dituangkan secara eksplisit dan akan dikomprehensifkan pada Oktober 2024.
Untuk itu telah dilakukan berbagai kajian dan benchmarking terkait visa dan izin tinggal bagi diaspora oleh Ditjen Imigrasi. Kesemuanya agar dapat menghasilkan rasam sesuai arahan Presiden, yaitu untuk memberikan visa dan izin tinggal bagi diaspora yang memiliki keahlian ataupun berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Kausanya, hingga kini, tercatat setidaknya ada 6 juta diaspora Indonesia yang tersebar di 18 negara.
Ordonansi pemberian visa dan izin tinggal bagi diaspora yang diterbitkan masih dalam kerangka arah kebijakan kewarganegaraan RI, yaitu menganut asas tunggal kewarganegaraan.
Oleh karenanya benchmarking telah dilaksanakan di New Delhi dan Kedutaan Besar India di Jakarta terkait skema Overseas Citizenship of India (OCI), dimana India juga tetap menganut single nationality. Benchmarking ini juga mengikutsertakan pemangku kepentingan terkait, namun masih memerlukan beberapa terobosan dan penyesuaian sebagaimana pola yang diterapkan oleh India dalam pemberian fasilitas OCI.
Berdasarkan kajian internal Ditjen Imigrasi, dalam rangka mengoptimalkan kontribusi diaspora Indonesia, maka opsi beleid visa baru yang dipilih ialah optimalisasi kebijakan visa tinggal terbatas, yang paling mendekati dengan patron fasilitas OCI.
Jika ditelisik pada Permenkumham No. 22/2023 tentang Visa dan Izin Tinggal, maka rasam mengenai visa tinggal terbatas diatur dari Pasal 34 sampai Pasal 66.
Sementara pada awal April telah ditetapkan Permenkumham No.11 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Permenkumham No. 22/2023 tentang Visa dan Izin Tinggal.
Selanjutnya bila Permenkumham No.11/2024 ditelusuri, maka di antara Pasal 34 sampai Pasal 66 juga telah mengalami beberapa perubahan dan yang paling signifikan adalah Pasal 60 dihapus.
Dalam rangka optimalisasi reglemen visa dan izin tinggal bagi diaspora, saat ini telah disiapkan payung hukum berupa konsep awal Rancangan Permenkumham tentang Visa dan Izin Tinggal bagi Diaspora.
Mengenai substansi yang dimasukkan dalam Rancangan Permenkunham terkait visa dan izin tinggal bagi diaspora, antara lain jenis visa yang digunakan untuk diaspora, tata cara pemberian visa berdasarkan aturan yang telah diatur sebelumnya, mekanisme pemberian izin tinggal tetap (ITAP) bagi diaspora, fasilitas dan kemudahan keimigrasian bagi diaspora, pengawasan keimigrasian bagi diaspora.
Mari ditelisik, apakah substansi visa dan izin tinggal bagi diaspora tersebut patut dituangkan ke dalam Permenkumham tersendiri atau diintegrasikan ke dalam perubahan Permenkumham yang eksisting?
Jenis visa yang digunakan untuk diaspora adalah visa tinggal terbatas repatriasi dan penyatuan keluarga. Sementara itu pengaturan kedua jenis visa ini sudah termuat dalam Permenkumham yang eksisting.
Sementara tata cara pemberian visa diaspora berdasarkan aturan yang telah diatur sebelumnya. Hal ini juga bermakna bahwa visa diaspora hanya melanjutkan tata cara pemberian visa pada regulasi yang eksisting.
Mekanisme pemberian ITAP bagi diaspora, tentu saja tidak terlalu berbeda secara signifikan dengan skema pemberian ITAP lainnya pada ketentuan yang eksisting.
Berikutnya fasilitas dan kemudahan keimigrasian bagi diaspora dapat dieksplisitkan ke dalam pasal tambahan, yang berkemungkinan muatannya tidak terlalu banyak.
Terakhir, pengawasan keimigrasian bagi diaspora. Pengawasan keimigrasian bagi diaspora kurang lebih sama dengan pengawasan keimigrasian pada umumnya.
Bila menelisik secara koherensi muatan dimaksud yang terkandung dalam Rancangan Permenkumham tentang Visa dan Izin Tinggal bagi Diaspora, maka tidaklah berbeda secara signifikan dengan visa dan izin tinggal lainnya.
Maka dari itu, materi yang terdapat dalam Rancangan Permenkumham tentang Visa dan Izin Tinggal bagi Diaspora dapat diintegrasikan ke dalam Perubahan Permenkumham No. 11 Tahun 2024, mengingat yang paling mendekati skema fasilitas OCI adalah visa tinggal terbatas. Sementara itu substansi visa tinggal terbatas telah tersenarai dalam Permenkumham No.22/2023 dan Permenkumham No.11/2024.
Hal ini bertujuan untuk memudahkan dalam memahami, menyelaraskan substansi visa tinggal terbatas yang terdapat pada Permenkumham No.22/2023 dan Permenkumham No.11/2024 dengan visa dan izin tinggal bagi diaspora.
Dengan disatukannya domain visa dan izin tinggal bagi diaspora dalam satu peraturan saja, tanpa menerbitkan peraturan yang baru, maka akan terjadi penyederhanaan regulasi, yang tentu saja bermuara pada efisiensi dan efektivitas dalam evaluasi peraturan perundang-undangan nantinya.
Hal yang lebih penting lagi adalah bila ketentuan beragam jenis visa dan izin tinggal terdapat dalam satu Permenkumham saja, maka akan memudahkan publik dalam mencerna dan memahami rasam visa dan izin tinggal lainnya.
Kausanya visa dan izin tinggal yang terdapat pada beleid yang eksisting memiliki korelasi dengan visa dan izin tinggal bagi diaspora yang sedang disusun.
Kemudian dalam upaya penyelarasan regulasi dari kementerian/lembaga (K/L) terkait dalam rangka pemberian fasilitas dan kemudahan bagi diaspora.
Hal yang patut dicatat adalah perlu adanya aturan secara rigid mengenai K/L yang berwewenang dalam hal pendataan, pemantauan dan pengawasan atas keberadaan diaspora Indonesia, baik di bumi khatulistiwa maupun di mancanegara.
Ihwal pembagian kewenangan secara tuntas menjadi salah satu kunci dari keberhasilan kolaborasi antarkementerian atau lembaga itu.
Sedikit menyampaikan masukan atas wacana perlu dirumuskannya undang-undang yang mengatur diaspora dalam bentuk Undang-Undang Omnibus atau Undang-Undang Diaspora Indonesia.
Jika ditelisik secara generik dari sudut substansi mengenai diaspora Indonesia, maka aturan diaspora Indonesia lebih tepat diintegrasikan ke dalam UU Omnibus.
Pasalnya pokok-pokok kaidah mengenai diaspora Indonesia sudah mencukupi bila dimazkurkan secara spesifik dan ringkas ke dalam UU Omnibus.
Selain itu, selama ini, salah satu amanah yang kerap digaungkan dalam rangka penyusunan ketentuan perundang-undangan adalah penyederhanaan regulasi.
*) Fenny Julita adalah alumnus Magister Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Analis Keimigrasian Ahli Madya, Ditjen Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM RI
Copyright © ANTARA 2024