Jakarta (ANTARA) - Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) meminta Pemerintah untuk meninjau kembali Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang berkaitan dengan penjualan rokok.

Ketua umum Hippindo Budiharjo Iduansjah mengatakan, pihaknya selalu mendukung setiap keputusan pemerintah. Namun demikian, salah satu pasal dalam aturan tersebut menyebut adanya larangan menjual rokok dalam radius 200 meter dari pusat pendidikan dan tempat bermain.

"Di mal itu kan ada pusat permainan anak-anak, ya enggak enggak mungkin juga ritelnya yang di dalam itu dan anggota kami restoran kadang juga jual rokok ya," ujar Budiharjo dalam konferensi pers Polemik Larangan Penjualan Rokok di PP Nomor 28 Tahun 2024, Jakarta, Selasa.

Budi menyebut, penjualan rokok telah menyumbangkan pendapatan sebesar 15 persen di ritel modern. Menurut Budi, pemberlakuan PP ini diproyeksikan dapat menurunkan pendapatan ritel hingga Rp21 triliun per tahun.

"Tokonya kami itu enggak boleh jual kalau sampai zonasi ini dijalankan, berarti itu akan kehilangan pendapatan Rp21 triliun," katanya.

Namun demikian, Hippindo menekankan siap mendukung program pemerintah dalam mengedukasi anak-anak tentang bahaya rokok.

Hippindo juga akan membantu untuk melakukan pembinaan kepada generasi muda terkait dengan bahaya rokok mulai dari pembuatan poster dan lainnya.

"Kita akan bantu programnya, posternya ke seluruh anggota kita yang 80 ribu toko, tapi ya kita minta yang minimarket terutama, maaf ini jangan dijalankan dulu gitu. Kita bisa membantu pembinaan generasi muda," ujar Budiharjo.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (Aparsi) Suhendro mengatakan, langkah pemerintah dalam menerbitkan PP untuk mencegah generasi muda dari bahaya rokok dinilai sudah tepat.

Hanya saja, terdapat beberapa hal yang masih harus dipertimbangkan seperti larangan penjualan rokok eceran dan penjualan dengan radius 200 meter.

"Yang berkaitan dengan umur 18-21 tahun ini penting sekali, kami sepakat, Aparsi mendukung sekali pemerintah. Tapi yang sangat berdampak pada ekonomi kerakyatan seperti rokok eceran, sebaiknya itu yang harus di-review kembali," kata Suhendro.

PP Kesehatan mengatur larangan penjualan produk tembakau (rokok) secara eceran satuan per batang, kecuali cerutu atau rokok elektronik.

Ketentuan itu tertera dalam Pasal 434 ayat (1) poin c, sebagaimana salinan PP yang dikutip dari laman jdih.setneg.go.id.

Dalam Pasal 434 tertulis ayat (1) setiap orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik, jika poin (a) disebutkan menggunakan mesin layan diri, poin (b) kepada setiap orang di bawah usia 21 (dua puluh satu) tahun dan perempuan hamil, (c) secara eceran satuan per batang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik.

Sedangkan poin (d) dengan menempatkan produk tembakau dan rokok elektronik pada area sekitar pintu masuk dan keluar atau pada tempat yang sering dilalui, (e) dalam radius 200 (dua ratus) meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, dan (f) menggunakan jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial.

Sementara pada Pasal 434 ayat (2), ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f bagi jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dikecualikan jika terdapat verifikasi umur.

Baca juga: Pakar: Implementasi PP 28 terkait larangan rokok butuh peran pemda
Baca juga: Koalisi IYCTC:Larangan jual rokok di lingkungan sekolah sudah tepat
Baca juga: Jokowi teken PP soal kesehatan larang penjualan rokok secara eceran

 

Pewarta: Maria Cicilia Galuh Prayudhia
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2024